Empat Poin Penting dalam RUU Penyiaran Versi Fraksi Gerindra
Berita

Empat Poin Penting dalam RUU Penyiaran Versi Fraksi Gerindra

Kewenangan KPI perlu diperluas agar memiliki power dalam memberikan sanksi terhadap media yang melakukan kesalahan dalam penyiaran.

RFQ
Bacaan 2 Menit
Empat Poin Penting dalam RUU Penyiaran Versi Fraksi Gerindra
Hukumonline
Revisi Undang-Undang No.32 Tahun 2002 tentang Penyiaran masuk dalam Prolegnas 2015. Sudah menjadi tugas Komisi I DPR melakukan pembahasan terhadap UU yang sudah terbilang lawas tersebut. Setidaknya, terdapat empat poin penting yang menjadi perhatian. Hal ini disampaikan anggota Komisi I, El Nino M Husein Mohi, di Gedung DPR, Senin (20/4).

Pertama, kepemilikan media elektronik televisi dan radio mesti diatur. El Nino berpandangan, dalam RUU tersebut nantinya diharapkan mengatur agar kepemilikan media elektoronik tidak didominasi pihak tertentu. Kedua, terkait dengan kewenangan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI).

Menurutnya, kewenangan lembaga pengawas eksternal terhadap siaran televisi mesti diperluas. Pertimbangannya, lantaran KPI merupakan lembaga yang menjadi representasi masyarakat di bidang dunia penyiaran.

Ketiga, keberagaman durasi dan konten dari media elektronik. Menurutnya, durasi konten lokal mesti ditambah dari aturan yang ada sebelumnya. “Meskipun selama ini ketentuan durasi konten telah ada namun dalam pelaksanaanya tidak maksimal,” ujarnya.

Keempat, RUU penyiaran mesti lebih pro pada perkembangan media elektronik di daerah. Ia menilai aturan turunan UU Penyiaran cenderung memberikan peluang adanya dominasi pemilik modal maupun opini dari pusat terhadap masyarakat daerah. “RUU ini harus lebih pro pada digitalisasi dari pada UU sebelumnya,” ujar politisi Gerindra itu.

Anggota Komisi I lainnya, Ahmad Muzani menambahkan perubahan UU Penyiaran menjadi prioritas bagi kinerja DPR, khususnya komisi I. Ia menilai RUU Penyiaran menjadi kebutuhan mendesak untuk kemudian dilakukan pembahasan. “Adalah perkara tentang digitalisasi itu sebagai sesuatu event atau tidak, itu harus dipikirkan,” katanya.

Lebih jauh, ia berpandangan dalam RUU tersebut mesti menegaskan soal netralitas media. Pasalnya media acapkali berpihak pada kepentingan pemilik media. Sebaliknya, media mesti menyajikan mutu dan kualitas pada masyarakat. Tentunya, muatan siaran dengan mengedepankan edukasi. Tak hanya itu, pemberitaan di bidang politik mesti mencerahkan.

Media, sejatinya tak boleh dipolitisasi oleh partai politik. Stasiun televisi mesti memberikan mutu siaran yang netral, bukan berpihak pada kepentingan politik tertentu. Jika mutu siaran netral, maka masyarakat memiliki cara pandang beragam terhadap isi mutu siaran yang diberikan media televisi dan elektronik lainnya.

“Mutu siaran, yang bebas dari pengaruh politik. Akhirnya, semua sajian-sajian politik memiliki cara pandang masing-masing,” katanya.

Fraksi partai tempatnya bernaung mendorong agar revisi UU Penyiaran segera dilakukan pembahasan dengan mengedepankan netralitas peran media. Pasalnya, kata Muzani, kencederungan siaran media tertentu terkesan partisan. Menurutnya, dengan perluasan kewenangan KPI, setidaknya dapat memberikan sanksi tegas ketika terdapat indikasi penyalahgunaan hak siar.

“Tidak selama ini KPK tidak memiliki power sehingga lembaga penyiaran tidak bisa diapa-apakan ketika melakukan kesalahan,” pungkasnya.
Tags:

Berita Terkait