Selain itu, pada UU Minerba sebelumnya, Inspektur Tambang memiliki kewenangan untuk menghentikan sementara kegiatan uasaha pertambangan bila daya dukung lingkungan tidak dapat menanggung beban kegiatan operasi produksi. Namun kewenangan ini justru dihapus dalam Revisi UU Minerba.
Revisi UU Minerba juga menghapus ketentuan pengawasan dan partisipasi masyuarakat. Pasal 113 ayat (4) UU Minerba sebelumnya memberikan hak bagi masyarakat untuk mengajukan permohonan pengehentian sementara kegiatan pertambangan kepada mentri atau pemerintah daerah, yaitu dalam hal kondisi daya dukung lingkungan terlampaui akibat kegiatan pertambangan. Namun aturan ini dihilangkan dalam Revisi UU Minerba.
Selain itu, ICEL juga menyebutkan bahwasanya penetapan wilayah hukum pertambangan (WHP) dalam revisi UU Minerba tidak membertimbangkan prinsip penataan ruang. Untuk diketahui, UU Nomor 3 Tahun 2020 memperkenalkan terminologi baru yaitu WHP. WHP sendiri diartikan sebagai seluruh ruang darat, ruang laut, termasuk ruang dalam bumi sebagai satu kesatuan wilayah yakni kepulauan Indonesia, tanah di bawah perairan, dan landas kontinen.
UU ini juga tidak menyebutkan keterkaitan antara WHP dalam konsep tata ruang nasional. Padahal pasal 6 ayat (1) UU Penataan Ruang mengatur bahwa penataan ruang harus diselenggarakan dengan memperhatikan sejumlah aspek seperti wilayah yang rentan bencana; potensi SDA, SDM, sumber daya buatan, konidisi ekonomi sosial, budaya politik, hukum pertahanan dan sebaginya.
Dengan definisi WHP yang sangat luas, tidak jelas bagaimana posisi dan penetapan WHP dalam konsep tata ruang nasional. Padahal hal ini penting karena tata ruang merupakan instrumen pencegahan pencemaran dan kerusakan lingkungan. Penataan ruang ini sangat krusial dalam mengelola trade off antara pemanfaatan ekonomi, perlindungan lingkungan, dan manfaat sosial demi tercapainya pembangunan berkelanjutan.