Fintech Lending, Mencoba Memahami Makna TKB90
Kolom

Fintech Lending, Mencoba Memahami Makna TKB90

TKB90 digunakan untuk menunjukkan tingkat keberhasilan fintech dalam menyelenggarakan proses penyelesaian kewajiban pembayaran nasabah peminjam kepada nasabah pemberi pinjaman dalam jangka waktu 90 hari sejak tanggal jatuh tempo.

Bacaan 5 Menit
Yosea Iskandar. Foto: Istimewa
Yosea Iskandar. Foto: Istimewa

Data statistik OJK mengenai perkembangan fintech lending atau pinjaman online bulan Juli 2020 mencatat Tingkat Keberhasilan Bayar 90 (TKB90) industri ini adalah sebesar 92,01%, turun 5,06% dari tahun sebelumnya. TKB90 digunakan untuk menunjukkan tingkat keberhasilan fintech dalam menyelenggarakan proses penyelesaian kewajiban pembayaran nasabah peminjam kepada nasabah pemberi pinjaman dalam jangka waktu 90 hari sejak tanggal jatuh tempo. Jika suatu fintech memiliki TKB90 100%, berarti seluruh pinjaman nasabah peminjam melalui platformnya berhasil dilunasi dengan baik. Semakin tinggi persentase TKB90 semakin baik kinerja fintech tersebut.

Formula perhitungan TKB90 adalah 100% dikurangi persentase tingkat gagal bayar nasabah peminjam di atas 90 hari sejak tanggal jatuh tempo. Sementara persentase tingkat gagal bayar adalah outstanding pinjaman di atas 90 hari berbanding outstanding pinjaman keseluruhan.

Dengan demikian apabila TKB90 adalah sebesar 92,01% maka tingkat gagal bayar atau wanprestasi sektor ini adalah sebesar 7,99%. Tampak jauh lebih tinggi dari non-performing loan atau NPL perbankan yang hanya sebesar 3,2% untuk bulan yang sama. Tetapi memang kedua hal ini bukan perbandingan yang setara atau apple-to-apple karena jenis kredit yang disalurkan fintech lending memang berbeda dengan perbankan yang merupakan gabungan dari consumer loan dan kredit korporasi.

Dengan adanya transparansi sebagai prinsip dasar perlindungan pengguna dalam Peraturan OJK No.77/2016 mengenai Layanan Pinjam Meminjam Berbasis Teknologi Informasi penyelenggara fintech wajib mempublikasikan tingkat keberhasilan penyelesaian kewajiban pinjam-meminjam mereka masing-masing. Namun prinsip transparansi tersebut tentu tidak berarti banyak bagi konsumen atau calon nasabah apabila tidak disertai penjelasan memadai atau edukasi lebih lanjut mengenai informasi yang diberikan.

Ada pihak yang menafsirkan bahwa bila suatu fintech yang memiliki TKB90 sebesar (misalnya) 90% menawarkan imbal hasil atau bunga (misalnya) 25% maka rata-rata bunga yang akan diperoleh pemberi pinjaman adalah 15%. Artinya sekalipun ada risiko ketidakberhasilan pembayaran sebesar 10%, masih ada selisih keuntungan sebesar 15% karena imbal hasil yang ditawarkan adalah 25%. Penafsiran seperti ini akan memperlihatkan potensi keuntungan yang ada masih jauh di atas bunga tabungan bank.

Mengingat bisnis model atau skema pinjam meminjam fintech lending yang sama sekali berbeda dengan perbankan, pemahaman tersebut menjadi kurang tepat. Hal ini dapat berdampak pada cara memandang industri secara keseluruhan, setidaknya memberikan harapan yang keliru bagi calon pemberi pinjaman.

Perlu diperhatikan bahwa TKB90 adalah hasil rata-rata dari seluruh outstanding portofolio pinjaman yang dikelola fintech sebagai suatu kesatuan usaha. Akan tetapi berbeda dengan bank, secara hukum fintech dalam skema peer-to-peer lending bukanlah pihak dalam perjanjian pinjam meminjam. POJK 77/2016 menegaskan bahwa fintech adalah penyelenggara yang menyediakan, mengelola, dan mengoperasikan layanan pinjam meminjam uang berbasis teknologi informasi dari pihak pemberi pinjaman kepada pihak penerima pinjaman yang sumber dananya berasal dari pihak pemberi pinjaman.

Dalam skema ini nasabah pemberi pinjaman akan memiliki perjanjian dan akan menanggung risiko kredit langsung dari nasabah peminjamnya masing-masing. Apabila pemberi pinjaman tidak memiliki portofolio pinjaman yang cukup besar maka risiko kredit yang tinggi dari satu peminjam tidak dapat dikompensasikan dengan risiko kredit yang lebih rendah dari peminjam lainnya.

Dengan demikian, TKB90 90% berarti secara rata-rata ada 10% peluang terjadinya kegagalan nasabah peminjam untuk melunasi pinjamannya kepada nasabah pemberi pinjaman dalam jangka waktu 90 hari terhitung sejak tanggal jatuh tempo. Dengan kata lain ada risiko sebesar 10% bagi nasabah pemberi pinjaman untuk tidak memperoleh kembali seluruh investasi atau uang yang dipinjamkannya, kecuali jika pinjaman tersebut telah diasuransikan. Risiko ini jelas tidak dapat dibandingkan dengan tabungan bank yang sekalipun menjanjikan imbal hasil yang rendah, tapi baik pokok maupun bunganya dijamin oleh program penjaminan pemerintah sesuai dengan ketentuan yang ada.

Apabila dilihat dari jumlah outstanding pinjaman fintech bulan Juli 2020 tersebut  dibandingkan dengan total outstanding pinjaman di industri keuangan, angka sebesar Rp11,94 triliun mungkin memang relatif kecil. Namun jumlah entitas yang terpapar pada risiko ini cukup besar, yaitu sejumlah 663,865 entitas nasabah pemberi pinjaman, dengan nasabah peminjam yang mencapai 9,71 juta entitas. Para nasabah pemberi pinjaman ini adalah mereka yang secara langsung menanggung risiko gagal bayar dalam sektor fintech lending. Sementara itu, dari sisi nasabah peminjam mungkin terdapat banyak penggunaan untuk keperluan konsumtif, tapi tentu tidak sedikit UMKM yang menggunakannya untuk modal kerja.

Asuransi kredit, yang dapat menjamin pelunasan sebagian besar dana nasabah pemberi pinjaman apabila nasabah peminjam wanprestasi, tentu menjadi pilihan utama untuk memitigasi risiko tersebut. Namun jaminan pelunasan oleh asuransi akan mengurangi insentif bagi nasabah pemberi pinjaman untuk merestrukturisasi kreditnya. Penggantian oleh asuransi juga akan memberikan hak kepada asuransi untuk melakukan penagihan langsung kepada nasabah peminjam, dengan metode yang mungkin berbeda dengan ketentuan yang berlaku bagi fintech lending. Kedua hal ini dapat membawa masalah tersendiri bagi nasabah peminjam yang memanfaatkan pinjaman untuk keperluan modal usaha mereka.

Pillihan selanjutnya adalah campur tangan pemerintah untuk memberikan bantuan dalam rangka program pemulihan ekonomi nasional. Bantuan dapat ditujukan bagi UMKM yang menjadi nasabah penerima pinjaman dan yang kemampuan melunasi pinjamannya terkena dampak pandemi. Namun kembali pada POJK No.77/2016 sebagai perangkat aturan yang ada saat ini tentang fintech lending, fintech bukanlah pihak yang memberi pinjaman. Fintech tidak memiliki kewenangan untuk merestrukturisasi. Fintech hanya dapat memfasilitasi apabila nasabah pemberi dan penerima pinjaman terkait bersedia untuk melakukannya.

Oleh karenanya memang belum ada kerangka aturan fintech yang memungkinkan Pemerintah untuk menyalurkan bantuan dalam rangka merestrukturisasi kredit para nasabah penerima pinjaman. Sementara itu, bantuan langsung kepada UMKM dalam melakukan restukturisasi juga tidak dimungkinkan karena melibatkan sedemikian banyak pihak sekaligus, baik dari sisi pemberi maupun penerima pinjaman.

Pilihan lain yang mungkin dapat dilakukan adalah dengan memberikan bridging loan pada para nasabah penerima pinjaman melalui perbankan dengan dukungan dana pemerintah. Melalui mekanisme ini para nasabah pemberi pinjaman dapat mengalihkan tagihannya kepada bank dengan memperoleh pembayaran. Bank akan memperoleh pengembalian atas pengalihan tagihan tersebut setelah melakukan restrukturisasi dengan nasabah penerima pinjaman terkait. Tentu semua dilakukan dalam platform fintech yang bersangkutan. 

Kembali pada data TKB90 bulan Juli 2020. Mengenai apakah TKB90 sebesar 92,01% masih dalam batas toleransi dan telah dimitigasi dengan baik, tentu industri fintech lending sendiri dan pihak otoritas berwenang yang lebih memahami. Tetapi melihat besarnya jumlah entitas atau pihak yang akan terkena dampaknya, kita berharap agar semua telah diperhitungkan oleh para pemangku kepentingan dan agar situasi perekonomian segera membaik dengan langkah-langkah yang telah dan tengah dijalankan oleh Pemerintah.

*)Yosea Iskandar, Praktisi Hukum Perbankan

Artikel kolom ini adalah tulisan pribadi Penulis, isinya tidak mewakili pandangan Redaksi Hukumonline.

Tags:

Berita Terkait