Fleksibel Menggaet Investor, Kontrak Kerja Sama Migas Mesti Berkepastian Hukum
Berita

Fleksibel Menggaet Investor, Kontrak Kerja Sama Migas Mesti Berkepastian Hukum

Beberapa tahun terakhir kontribusi migas terhadap postur APBN secara keseluruhan sudah di bawah 10 persen.

Moh. Dani Pratama Huzaini
Bacaan 2 Menit

 

Ia menjelaskan salah satu problem utama dalam skema cost recovery di negara dengan indeks demokrasi yang masih belum mapan dan sistem penyelenggaraan ketatanegaraan yang pengelolaan institusinya relatif marak praktik KKN adalah kuatnya pengaruh moral hazard. Dorongan itu menyimpan potensi buruk bagi tata kelola migas dan mendorong berkembangbiaknya perilaku korup bila segera tak diatasi.

 

“Oleh sebab itu, kita perlu cermati untung rugi dari fleksibilitas penerapan cost recovery atau gross split. Dapat dilihat dari sudut pandang kemanfaatan bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, tata kelola yang bersih dan partisipatif serta berkelanjutan” ujar Bisman.

 

(Baca: Perjalanan Panjang Menanti Pengesahan RUU Migas yang Terus Molor)

 

Ia menilai, sebenarnya saat ini Indonesia belum siap dengan tata kelola migas yang menggunakan skema cost recovery. Salah satunya karena latar belakang tadi, indeks korupsi masih tinggi, selain karena ketidaksiapan pemerintah dalam memaksimalkan pendapatan negara dari diterapkannya skema ini. Sementara di sisi lain, skema gross split relatif telah ditinggalkan oleh banyak negara dalam tata kelola migas.

 

“Tantangannya adalah, ke depan ESDM harus melakukan kajian lebih mendalam. Skema bagi hasil cost recovery atau gross split harus memperhatikan berbagai aspek, baik itu kesiapan SDM dalam pengelolaannya, kesiapan demokrasi, bahkan kesiapan moral hazard sekalipun” tegas Bisman

 

Sementara itu Ahli Energi Abdul Nasir mengungkapkan, dari sisi penerimaan negara dari sektor Migas, Pemerintah Indonesia sudah harus bisa menyesuaikan diri dengan kontribusi sektor migas yang semakin kecil. Nasir mengungkapkan beberapa tahun terakhir kontribusi migas terhadap postur APBN secara keseluruhan sudah di bawah 10 persen.

 

“Bahkan di tahun 2016 hanya berada di kisaran 3 persen dari total penerimaan negara. Jadi sebenarnya sudah relatif kecil keuntungan penerimaan negara dari sektor migas,” ujar Nasir.

 

Menurut Nasir Indonesia sudah kehilangan momentum jika masih mengharapkan pendapatan yang besar dari sektor migas. Ia membandingkan dengan tahun 70-80an, migas memiliki peranan yang sangat signifikan untuk capaian pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait