Ada Kritik atas Keputusan Perpanjangan Pengelolaan Blok Corridor
Berita

Ada Kritik atas Keputusan Perpanjangan Pengelolaan Blok Corridor

Pengujian Peraturan Menteri ESDM No. 23 Tahun 2018 telah diputuskan Mahkamah Agung.

Oleh:
Moh. Dani Pratama Huzaini
Bacaan 2 Menit
Ada Kritik atas Keputusan Perpanjangan Pengelolaan Blok Corridor
Hukumonline

Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (KESDM) telah menyetujui perpanjangan kontrak kerja sama Wilayah Kerja (WK) Blok Corridor di Sumatera Selatan. Senin (22/7) lalu, Menteri ESDM Ignasius Jonan menyampaikan langsung ke publik perpanjangan ker sama itu. Dengan demikian, pengelolaan Blok Corridor oleh pemegang participating interest sebagai operator, ConocoPhilips, akan berlangsung hingga 2043. Sebelumnya kerja sama berakhir pada Desember 2023.

Dalam jumpa pers, Jonan menyatakan pemberian perpanjangan pengelolaan Blok Corridor selama 20 tahun hingga 2043 didasari antara lain oleh pertimbangan signature bonus sebesar AS$250 juta dan komitmen kerja pasti lima tahun pertama sebesar AS$250 juta. Blok Corridor disebutkan akan menggunakan skema bagi hasil kotor (gross split).

Kontrak bagi hasil akan menerapkan skema gross split dimana KKKS (Kontraktor Kontrak Kerja Sama) memperoleh jatah 48,5% untuk minyak dan 53,5% untuk gas. “Ini aturannya kami tawarkan ke existing termasuk Pertamina. Kalau tidak, oke lelang. Tapi ini oke, sampai saat ini tidak ada tawaran lain yang lebih baik,” ujar Jonan.

Langkah Jonan ini kemudian menuai polemik. Federasi Serikat Pekerja Pertamina Bersatu (FSPPB) menyampaikan kekecewaannya atas keputusan KESDM yang memperpanjang kontrak pengelolaan Blok Corridor kepada kontraktor yang sudah ada. Menurut FSPPB, keputusan Jonan tersebut telah melanggar Permen ESDM No. 15 Tahun 2015 tentang Pengelolaan Wilayah Kerja Minyak dan Gas Bumi yang Akan Berakhir Kontrak Kerjasamanya.

(Baca juga: Menyoal Batasan Hukum Kerugian Bisnis dan Kerugian Negara di Sektor Migas).

Melalui Permen No. 15 Tahun 2015, Menteri ESDM sebelum Jonan, Sudirman Said mengatur bahwa blok-blok Wilayah Kerja Migas yang akan habis kontraknya atau terminasi harus diberikan pengelolaannya kepada Badan Usaha Milik Negara (BUMN) di sektor migas. Artinya, BUMN mendapat prioritas pertama penawaran. Tetapi ketentuan tahun 2015 diubah Jonan melalui Permen ESDM No. 23 Tahun 2018. Kini, Kementerian ESDM punya dasar untuk mengutamakan kontraktor lama ketimbang BUMN.

FSPPB menilai, seluruh kebijakan KESDM harusnya berpedoman pada Permen ESDM No. 30 Tahun 2016 tentang Percepatan Pemberlakuan Satu Harga Jenis Bahan Bakar Minyak Tertentu dan Jenis Bahan Bakar Minyak Khusus Penugasan Secara Nasional dan Permen ESDM Nomor 15 tahun 2015 yang memberikan hak istimewa kepada Pertamina untuk menjadi operator blok migas yang akan berakhir kontrak kerja samanya.

Dalil FSPPB adalah, Permen ESDM No. 23 Tahun 2018 yang menjadi dasar hukum tindakan KESDM saat ini  telah dibatalkan Mahkamah Agung pada November 2018. Untuk diketahui, FSPPB adalah pihak yang mengajukan judicial review Permen tersebut ke Mahkamah Agung. Untuk itu Presiden FSPPB, Arie Gumilar menilai, langkah KESDM telah melanggar hukum. “Keputusan tersebut telah melanggar Permen ESDM nomor 15 tahun 2015 setelah Permen ESDM No. 23 tahun 2018 dibatalkan oleh hasil gugatan FSPPB ke Mahkamah Agung pada November 2018 lalu,” terang Arie Gumilar melalui keterangan tertulisnya, Selasa (22/7).

Tags:

Berita Terkait