Regulasi Telekomunikasi
Swaregulasi dan Kristalisasi ke Arah Independent Regulatory Body
Fokus

Regulasi Telekomunikasi
Swaregulasi dan Kristalisasi ke Arah Independent Regulatory Body

Reformasi di Indonesia sepertinya benar-benar dinikmati oleh pemerhati maupun praktisi telematika Indonesia. Sebelumnya pada masa Orde Baru, lembaga kekuasaan sekelas Menteri atau bahkan Direktorat Jenderal sedemikian kuatnya merengkuh publik tanpa ada protes yang cukup berarti. Saat ini, kondisi itu berbalik.

Muk/APr
Bacaan 2 Menit

Hasilnya, masalah tarif seringkali menjadi komoditas tarik-tambang antar pemerintah dan DPR. Biasanya, diperoleh suatu jalan tengah yang lumayan melegakan. Lihat saja masalah kenaikan tarif telepon yang tadinya sudah mendapat restu DPR, terpaksa dibahas ulang karena mendapat penolakan sebagian masyarakat.

Masalah kedua yang menghadang, yakni tidak adanya transparansi.  Berbagai kebijakan telematika (telekomunikasi, media, dan informatika) serta permasalahn lisensi/perizinan, selama ini jelas disusun tanpa disertai transparansi yang cukup. Akibatnya, masyarakat tidak dapat memberikan pandangannya.

Di antaranya, adalah SK Dirjen Postel No. 241 Tahun 2000 yang mengatur penggunaan bersama (sharing) pita frekuensi 2400-2483,5 MHz antara wireless LAN-akses internet bagi penggunaan di luar gedung (outdoor) dan microwave link. 

Regulasi lain yang yang bermasalah adalah soal tarif telepon sebagaimana ditetapkan oleh KM Perhubungan No. 19 Tahun 2001, dan Kepdirjen Postel No. 199 Tahun 2001 yang berkaitan dengan bisnis VoIP (Voice over Internet Protocol), serta Kepdirjen Postel No. 159 Tahun 2001 yang memberikan lisensi operator ITSP (Internet Teleponi Service Provider).

Untuk SK 241/200 saja, tentangan sudah muncul sejak awal keberadaannya dan semakin menguat pada awal tahun 2001. Pasalnya, posisi warung-warung internet (warnet) yang menggunakan frekuensi ini untuk koneksi internetnya terancam karena didudukkan oleh SK ini pada posisi sekunder yang sewaktu-waktu harus siap "mengalah" jika pihak yang menduduki posisi primer merasa terganggu.

Secara yuridis, bisa dibilang seluruh regulasi ini memenuhi persyaratan. Namun, tidak secara sosiologis dan filosofis sebagai unsur-unsur yang harus dipenuhi dalam penyusunan ketentuan hukum.  Di sinilah pentingnya keterbukaan dan sikap legowo regulator untuk mengajak pihak-pihak yang akan terkena langsung kebijakan yang dibuatnya. Apalagi jika mereka ini pintar memainkan opini publik melalui media massa.

Pelajaran dapat diambil dari sejumlah regulasi penting yang melibatkan publik seperti KM No. 20 Tahun 2001 tentang Jaringan Telekomunikasi dan KM No.21 Tahun 2001 tentang Jasa Telekomunikasi yang penyusunannya memberikan ruang bagi suara publik.

Tags: