Formulasi Penyusunan Kontrak Perdagangan Karbon
Kolom

Formulasi Penyusunan Kontrak Perdagangan Karbon

Model perdagangan karbon dibagi menjadi tiga model yakni, model cap and trade, model karbon offset, dan model pembayaran berbasis kinerja.

Formulasi Penyusunan Kontrak Perdagangan Karbon
Hukumonline

Conference of The Parties ke-27 (COP 27) The United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) yang diadakan di Sharm El Sheikh membawa peluang besar bagi Indonesia. Dengan modal dua aturan hukum terkait dengan perdagangan karbon yakni Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 98 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Nilai Ekonomi Karbon untuk Pencapaian Target Kontribusi yang Ditetapkan Secara Nasional dan Pengendalian Emisi Gas Rumah Kaca dalam Pembangunan Nasional dan aturan turunannya yakni Peraturan Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia (Peraturan LHK) Nomor 21 Tahun 2022 Tentang Tata Laksana Nilai Ekonomi Karbon.

Latar belakang terbitnya dua aturan hukum terkait dasar pelaksanaan perdagangan karbon menjelang COP 27 tersebut sebenarnya dalam konteks politik hukum telah dimulai sejak rezim Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1994 Tentang Pengesahan United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC). Selanjutnya 10 tahun kemudian ditindaklanjuti dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2004 Tentang Pengesahan Protokol Kyoto dalam UNFCCC.

Lahirnya Perpres Nomor 98 Tahun 2021 dan Peraturan LHK Nomor 21 Tahun 2022 menjelang COP 27 dalam perspektif economic analysis of law merupakan modal yang strategis bagi Indonesia. Dengan isu yang berkembang di COP 27 dan fakta bahwa hutan di Indonesia merupakan salah satu hutan yang terluas di dunia maka adanya perdagangan karbon merupakan sesuatu yang segera akan terjadi.

Optimisme pada segera terbukanya aktivitas perdagangan karbon di Indonesia selain dengan mengacu pada Lahirnya Perpres Nomor 98 Tahun 2021 dan Peraturan LHK Nomor 21 Tahun 2022 adalah dengan diperolehnya pembiayaan dari World Bank’s Forest Carbon Partnership Facility sebesar US$20,9 juta dari total komitmen US$110 juta pada skema reducing emissions from deforestation and forest degradation (REDD+) di Kalimantan Timur dan Indonesia hingga saat ini merupakan satu satunya negara Asia Pasific Timur yang telah menerima pembiayaan tersebut.

Baca juga:

Esensi Kontrak

Jika Mengacu pada Perpres Nomor 98 Tahun 2021 dan Peraturan LHK Nomor 21 Tahun 2022 sebagai turunan dari Undang-Undang Cipta Kerja bahwa perdagangan karbon dapat diselenggarakan oleh pihak swasta yang telah mendapat perizinan berusaha penguasaan hutan (PBPH). Hal ini artinya dengan luasan hutan yang ada di Indonesia setelah dikurangi dengan komitmen wajib (National Determined Contribution/NDC) maka masih terdapat banyak peluang untuk melakukan perdagangan karbon oleh swasta melalui pasar voluntary sehingga kontrak (perjanjian) perdagangan karbon menjadi hal yang esensial dalam perdagangan karbon.

Dalam Pasal 1 Perpres Nomor 98 Tahun 2021 dijelaskan bahwa pada dasarnya hak atas karbon dimiliki dan dikuasai oleh negara, sehingga terkait dengan hal ini pihak swasta yang akan melakukan perdagangan karbon baik di dalam maupun luar negeri sesuai Pasal 48 ayat (3) tersebut wajib melakukan registrasi secara nasional, aturan registrasi tersebut secara detail telah ditetapkan dalam Peraturan LHK Nomor 21 Tahun 2022. Demikian pula Pasal 49 Perpres Nomor 98 Tahun 2021 memberi batasan bahwa penyelenggaraan perdagangan karbon melalui mekanisme perdagangan luar negeri tidak boleh mengurangi NDC. Hal ini artinya bahwa ada batasan volume perdagangan karbon yang diizinkan bagi pemegang izin PBPH.

Tags:

Berita Terkait