‘Go Public’ Menurut ASP Law Office
Capital Market Rankings

‘Go Public’ Menurut ASP Law Office

Ada beberapa catatan praktis dan komersial dari ASP Law Office yang perlu dipertimbangkan oleh manajemen dari suatu perusahaan yang berkeinginan untuk melakukan penawaran umum perdana saham perusahaannya dan mencatatkan sahamnya di pasar modal Indonesia (Bursa Efek Indonesia – “IDX”).

Oleh:
CT-CAT
Bacaan 2 Menit
 Andreas Hartono, S.H., LL.M., MCIArb. Foto: Istimewa
Andreas Hartono, S.H., LL.M., MCIArb. Foto: Istimewa

Initial Public Offering (IPO—atau dapat diartikan sebagai Penawaran Umum Perdana) merupakan salah satu mekanisme yang dapat dipergunakan oleh pelaku usaha untuk mendapatkan pendanaan guna pengembangan bisnisnya. Berbeda dengan meminjam uang kepada pemberi pinjaman, dalam IPO, pelaku usaha dapat mendapatkan pendanaan tanpa membayar bunga dan tanpa memberikan jaminan kepada pemberi pinjaman. Pelaku usaha juga tidak perlu mengeluarkan biaya administrasi kepada pemberi pinjaman secara periodik selama jangka waktu pinjaman masih terutang.

 

Dalam IPO, pihak Emiten (perusahaan yang mencatatkan sahamnya di Bursa Efek) bertanggung jawab untuk memastikan dana yang didapatkan dari pihak investor dikelola dengan sebaik-baiknya untuk mengembangkan usahanya; sesuai dengan rencana usaha (business plan) yang dijual dan dituangkan oleh Emiten di dalam prospektus yang disampaikan oleh Emiten. Adapun yang diharapkan oleh investor saham hanyalah kenaikan nilai perusahaan, yang terlihat dari peningkatan harga saham di Bursa Efek, dan jika ada, dividen. Oleh karenanya, dana yang diperoleh dari investor di pasar modal adalah dana baru yang diperoleh Emiten yang dinilai dari menarik tidaknya business plan dan catatan kinerja (track record) Emiten di tahun-tahun sebelumnya. Jadi, bukan dari berapa besarnya nilai nyata aset dari Emiten (yang biasanya menjadi salah satu patokan utama bagi suatu kreditur di dalam memberikan pinjaman kepada debitur).

 

Dalam prosesnya, pengajuan IPO melibatkan banyak pihak dan profesi penunjang pasar modal. Setidaknya, terdapat dua profesi penunjang pengajuan IPO yang kami sorot, yakni konsultan hukum pasar modal dan notaris. Di tahun 2018 sendiri, Hukumonline telah mengadakan riset terkait aktivitas transaksi dari aspek hukum pada kegiatan pasar modal (IPO) yang memeringkatkan kantor hukum korporasi dan notaris berdasarkan sejumlah kategori. Ini meliputi jumlah transaksi terbanyak, nilai emisi, fee kantor hukum, serta notaris.  

 

Dari riset ini, Hukumonline menempatkan Andreas, Sheila & Partners (ASP Law Office) di posisi ‘Top 12 Law Firm based on the Number of IPO Transaction handled in 2018’ dan ‘Top 10 Law Firms based on Total IPO Transaction Fees for 2018’. Dijabarkan lebih lanjut, ASP berada pada urutan kedua untuk kategori ‘Jasa Konsultasi Hukum’ pada IPO 2018 dengan jumlah 4 kali IPO (dari total 56 transaksi IPO). Sementara itu, jika dilihat secara individual per lawyer, ASP diwakili oleh Andreas Hartono, S.H., LL.M., MCIArb, dengan jumlah transaksi terbanyak dalam mewakili Emiten melakukan IPO tahun 2018 (4 kali).

 

Pro IPO

Menjadi firma hukum yang juga memiliki ranah praktik di ranah pasar modal, ASP Law Office berpendapat, ada beberapa pro dan kontra yang mengiringi keputusan dari suatu Emiten untuk ‘go public’ atau mulai menawarkan sahamnya kepada publik. Secara spesifik, ASP mengerucutkannya kedalam komponen berikut: capital gain tax, corporate income tax, likuiditas, sumber pendanaan, succession planning, better valuation, hingga negative list.

 

Untuk poin pertama, capital gain tax. Bagi public company, capital gain tax yang berlaku bagi pemegang saham Emiten saat hendak menjual sahamnya adalah sebesar 0,5% (untuk pemegang saham pendiri di awal pencatatan saham di IDX) + 0,1% (final untuk setiap transaksi penjualan saham); sementara untuk non-public company, pajak penghasilan bagi pemegang saham yang menjual sahamnya akan dikenakan tergantung status hukum dari pihak penjual (misalnya 30% untuk pemegang saham individu, 25% untuk pemegang saham korporasi domestik, dan 5% - final – untuk pemegang saham korporasi luar negeri).

 

Untuk komponen corporate income tax, jika paling sedikit 40% atau lebih dari saham Emiten dipegang oleh pemegang saham publik, pajak penghasilan yang harus dibayarkan oleh public company adalah sebesar 20% dan 25% jika di bawah 40%. Bila dibandingkan dengan corporate income tax yang harus dibayarkan oleh non-public company adalah sebesar 25%.

 

Untuk aspek likuiditas, pada public company, pemegang saham yang hendak menjual sahamnya tidak perlu repot mencari pihak pembeli karena cukup menjual sahamnya di Bursa Efek (sangat likuid). Hal ini tentu berbeda jika dibandingkan dengan non-public company yangtidak likuid dan memerlukan upaya lebih bagi pemegang saham untuk menjual sahamnya. Sementara itu, untuk sumber pendanaan—public company cenderung memiliki banyak pilihan sumber pendanaan dan tidak hanya mengandalkan berdasarkan aset berwujud (tangible asset), tetapi saham (dan/atau turunannya) dari public company dapat juga dijadikan jaminan untuk mencari sumber pendanaan alternatif. Sebaliknya, non-public company cenderung hanya mendapatkan sumber dana secara konvensional yang terbatas, misalnya perbankan atau berdasarkan tangible asset dari perusahaan tersebut.

 

Untuk aspek kelima, yakni perencanaan suksesi atau exit plan, bagi perusahaan keluarga atau perusahaan patungan cara penyelesaian masalah regenerasi atau exit plan pada public company tergolong mudah. Jika terjadi perselisihan, saham dapat dijual langsung di pasar modal oleh pemegang saham yang tidak lagi berminat untuk terlibat dalam kegiatan usaha perusahaan. Sementara itu, pada non-public company, penyelesaian konflik tergolong lebih kompleks, seperti keberadaan tag along rights (hak bagi pemegang saham lain untuk ikut serta dalam rencana penjualan saham oleh suatu pemegang saham perusahaan) atau rights of first refusal (hak untuk menerima penawaran pembelian terlebih dahulu saham yang hendak dijual).  

 

Komponen keenam sendiri terkait dengan better valuation (penilaian yang lebih baik) yang dapat dinikmati yaitu penilaian akan mencakup aset berwujud dan tidak berwujud, serta proyeksi rencana bisnis untuk lima tahun ke depan (public company) dibandingkan dengan hanya book value multiplication untuk non public company. Adapun komponen terakhir, yakni negative list yang meliputi pengecualian portofolio investor dari negative list investasi(public company); di mana hal ini lebih memudahkan public company untuk menarik pendanaan dari investor asing ketimbang non-public company yang bergantung pada negative list.

 

Kontra IPO

Selain kelebihan-kelebihan tersebut, ada pula poin yang dilihat ASP Law Office sebagai kekurangan dari IPO. Ini seperti beban administratif (compliance cost), yang terdiri dari tiga aspek, seperti: proses audit setiap enam bulan sekali, diperlukannya komisaris independen yang mewakili kepentingan pemegang saham publik (tidak terikat atau terafiliasi dengan direksi, anggota dewan komisaris lain, maupun bebas dari hubungan apa pun yang dapat memengaruhi kemampuannya bertindak); dan beban biaya pemberitahuan dan/atau pengumuman di media massa. “Hal-hal ini belum termasuk biaya-biaya yang perlu dikeluarkan Emiten untuk keanggotaan dan retribusi Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan IDX; serta biaya yang dibutuhkan untuk transparency and disclosure requirements (seperti biaya penyelenggaraan RUPS, dan lain sebagainya),” ungkap ASP Law Office.

 

Memiliki klien dari komunitas bisnis domestik dan internasional, ASP sendiri tercatat sebagai firma hukum yang memiliki area praktik utama seperti merger dan akuisisi, investasi, real estat, perbankan dan keuangan, pasar modal, energi dan sumber daya alam, logistik dan transportasi, industri hiburan dan transaksi korporasi, kepailitan, hingga penyelesaian sengketa dan litigasi.

 

Artikel ini merupakan kerja sama antara Hukumonline dengan Andreas, Sheila & Partners (ASP Law Office).

Tags:

Berita Terkait