Guru Besar FH UPN Veteran Jakarta Beberkan 8 Tantangan Harmonisasi Peraturan
Terbaru

Guru Besar FH UPN Veteran Jakarta Beberkan 8 Tantangan Harmonisasi Peraturan

Seperti harmonisasi sering dianggap sebagai penghalang untuk melakukan reformasi regulasi, hingga pelibatan publik yang cukup (meaningful participation).

Ady Thea DA
Bacaan 3 Menit

Mantan Kepala Badan Pembangunan Nasional (BPHN) itu mencatat sedikitnya ada 8 tantangan harmonisasi peraturan perundang-undangan. Pertama, harmonisasi sering dianggap sebagai ‘penghalang’ untuk melakukan reformasi regulasi. Kedua, optimalisasi peran biro hukum atau satuan kerja yang menyelenggarakan fungsi di bidang peraturan perundang-undangan pada masing-masing kementerian/lembaga.

Ketiga, perlu dilakukan simplifikasi pembentukan UU agar tidak selalu berpikir semua masalah selesai dengan membentuk UU atau peraturan perundang-undangan. Keempat, perlu dibentuk aturan sun set clauses yakni pencantuman klausul jangka waktu tertentu berlakunya peraturan perundang-undangan.

Kelima, prosedur pembentukan peraturan perundang-undangan harus sederhana dan efisien. Keenam, perlu lembaga yang memiliki kewenangan penuh dan berwibawa (satu pintu) untuk mengelola peraturan perundang-undangan. Ketujuh, membangun alat bantu untuk melakukan pengharmonisasian karena selama ini mekanisme yang digunakan adalah manual yakni mengecek dengan peraturan lainnya secara horizontal dan vertikal. Kedelapan, pelibatan publik yang cukup (meaningful participation).

Guru Besar Hukum Tata Negara (HTN) Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran Prof Susi Dwi Harijanti, berpandangan partisipasi publik penting antara lain karena terkait prosedur. Dalam negara yang menganut sistem demokrasi, semakin banyak partisipasi publik maka hasilnya akan semakin baik.

Rancangan Undang-Undang (RUU) atau rancangan peraturan perundang-undangan yang dibahas tidak boleh disembunyikan dari publik. Sebab menjadi positif dalam proses pembentukan peraturan perundangan, yakni banyaknya masukan dan kritik terhadap muatan materi.

“Ini memang konsekuensinya, semakin terbuka suatu RUU maka makin banyak masukan yang diberikan publik,” urainya.

Pasal 25 konvensi sipil dan politik atau ICCPR menurut Prof Susi memandatkan setiap warga negara punya hak dan kesempatan untuk ikut dalam urusan publik baik secara langsung atau representasi. Masyarakat harus bisa menyampaikan pendapatnya dalam perumusan kebijakan.

Tags:

Berita Terkait