Guru Besar UGM Ini Sebut Bidang Pertanahan UU Cipta Kerja Sulit Mencapai Keadilan
Terbaru

Guru Besar UGM Ini Sebut Bidang Pertanahan UU Cipta Kerja Sulit Mencapai Keadilan

Karena mengutamakan kepentingan investasi dan abai terhadap kelompok rentan, seperti petani, masyarakat pendesaan, masyarakat hukum adat.

Oleh:
Ady Thea DA
Bacaan 3 Menit

Belum lagi, tanah objek reforma agraria sebagaimana diatur Perpres No.86 Tahun 2018 tentang Reforma Agraria diambil alih menjadi aset Bank Tanah. Penyebutan reforma agraria dalam PP No.64 Tahun 2021 tentang Badan Bank Tanah juga kontraproduktif karena paradigma Bank Tanah dan Reforma Agraria berbeda.

Ketiga, pengakuan setengah hati terhadap Masyarakat Hukum Adat (MHA) dan Hak Ulayat. Maria melihat tidak jelas alasan dan tujuan menetapkan HPL untuk MHA dan ini bertentangan dengan prinsip hak menguasai negara Pasal 2 dan Penjelasan Umum UU No.5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria.  

UU Cipta Kerja dinilainya tidak menegaskan format penetapan pengakuan Masyarakat Hukum Adat dan Hak Ulayat. Penetapan HPL atas tanah ulayat merupakan pengingkaran kewenangan Masyarakat Hukum Adat yang melekat pada hak ulayatnya sebagai suatu yang inheren. “Menyamakan Masyarakat Hukum Adat dengan instansi pemerintah dan subyek HPL lain merupakan kejanggalan,” tegas mantan Dekan Fakultas Hukum UGM dua periode (1991-1997) ini.      

Selain itu, Maria menilai UU Cipta Kerja dan peraturan turunannya tidak menjamin kepastian hukum. Misalnya, pemberian HGU di atas HPL bertentangan dengan Pasal 2 jo Pasal 28 UU Pokok-Pokok Agraria. Perbedaan pengaturan rumah tempat tinggal/hunian bagi orang asing terkait jenis hunian (rumah tinggal atau rumah susun).

Pemilikan sarusun/apartemen untuk orang asing di atas tanah bersama yang berstatus HGB hanya berdasarkan pertimbangan kemudahan bisnis properti. Padahal ini melanggar UU Pokok-Pokok Agraria dan prinsip “strata title” yang universal.

UU Cipta Kerja dan peraturan turunannya juga tidak menjamin keberlanjutan. Ada kemudahan alih fungsi lahan pertanian menjadi nonpertanian dengan mengubah ketentuan krusial UU No.41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan. Dampak alih fungsi lahan pertanian yaitu terancamnya ketahanan pangan.

Dirjen Peraturan Perundang-Undangan Kementerian Hukum dan HAM, Prof Benny Rianto, mengatakan pembentukan RUU Cipta Kerja menjadi UU Cipta Kerja merupakan inisiasi pemerintah. Presiden Jokowi menggulirkan ide pembentukan UU melalui metode omnibus law karena banyak UU yang harus direvisi. “Omnibus law menjadi pilihan untuk melakukan simplifikasi regulasi terkait kemudahan berusaha dan ketenagakerjaan,” kata Prof Benny dalam kesempatan yang sama.

Benny memaparkan awalnya omnibus law mau digulirkan melalui 2 RUU yakni Kebijakan Perpajakan dan UU Cipta Kerja. Tapi yang dipilih untuk didorong yakni RUU Cipta Kerja karena memprioritaskan pembangunan ekonomi, penciptaan lapangan kerja, kemudahan investasi, dan menghilangkan ego sektoral kementerian/lembaga dan pemerintah daerah dalam hal investasi.

“Kalau ada yang belum selaras itu wajar karena kita simplikasi menjadi satu UU. Jika dirasa kurang akomodatif, maka bisa direvisi melalui proses legislasi,” katanya.

Tags:

Berita Terkait