Hak Kekayaan Intelektual dalam Era Digital
Oleh: Danrivanto Budhijanto, S.H., LL.M in IT Law

Hak Kekayaan Intelektual dalam Era Digital

Berlakunya Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta pada 29 Juli 2003 (UUHC) ternyata menyisakan keresahan bagi komunitas Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK), termasuk industri terkait seperti telekomunikasi, penyiaran dan content provider.

Bacaan 2 Menit

 

Suatu karya cipta merupakan refleksi pribadi dari pencipta. Karenanya tidaklah dapat dibagi-bagi dan tidak pula dapat dilakukan perubahan atau modifikasi. Hak moral adalah hak yang melekat pada diri pencipta yang tidak dapat dihilangkan atau dihapus tanpa alasan apa pun, walaupun hak cipta telah dialihkan.

 

Perlindungan hak cipta di AS lebih mengarah kepada perlindungan ekonomi bagi para pencipta. Istilah copyright yang dipergunakan dapat dipahami secara sederhana sebagai the right to copy atau hak untuk memperbanyak atau menggandakan. Sehingga kompensasi materi bagi para pencipta berupa royalti merupakan hal yang signifikan. Hal dimaksud dapat dipahami sebagai langkah kompromistis dalam upaya mendorong ide dan kreativitas sekaligus pula memberikan kesempatan yang wajar untuk dapat digunakannya hasil-hasil karya cipta.

 

Dalam UUHC, nampaknya Indonesia menggunakan rezim gado-gado. Secara peristilahan dipergunakan terminologi hak cipta atau invention right, sehingga dapat dikategorikan sebagai moral right. Namun secara substansi, UUHC memiliki pula warna kental dalam hal perlindungan economic right.

 

Dalam Pasal 1 butir ke-1 UUHC disebutkan Hak Cipta adalah hak eksklusif bagi Pencipta atau penerima hak untuk mengumumkan atau memperbanyak ciptaannya atau memberikan izin untuk itu dengan tidak mengurangi pembatasan-pembatasan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Bahkan, Bagian Ketujuh UUHC yaitu pada Pasal 24 dan Pasal 25 mengatur tersendiri mengenai perlindungan hak moral terhadap karya cipta.

 

Perlindungan UUHC

UUHC merupakan amandemen keempat dari peraturan perundang-undangan di bidang hak cipta yang sebagaimana pertama kali disahkan pada 1982 silam. Seiring dengan perkembangan seni, budaya, teknologi dan perdagangan, maka karya ciptaan yang dilindungi semakin beragam jenisnya. Karya cipta berupa basis data (database) merupakan hal baru yang dilindungi UUHC.

 

Pasal 12 UUHC menyebutkan bahwa karya ciptaan yang dilindungi dalam bidang ilmu pengetahuan, seni dan sastra. Karya ciptaan yang dimaksud mencakup buku, program komputer, pamflet, perwajahan (lay out) karya tulis yang diterbitkan, dan semua hasil karya tulis lain; ceramah, kuliah, pidato, dan ciptaan lain yang sejenis dengan itu; alat peraga yang dibuat untuk kepentingan pendidikan dan ilmu pengetahuan; lagu atau musik dengan atau tanpa teks; drama atau drama musikal, tari, koreografi, pewayangan, dan pantomim; seni rupa dalam segala bentuk seperti seni lukis, gambar, seni ukir, seni kaligrafi, seni pahat, seni patung, kolase, dan seni terapan; arsitektur; peta; seni batik; fotografi; sinematografi; terjemahan, tafsir, saduran, bunga rampai, database, dan karya lain dari hasil pengalihwujudan.

 

Secara normatif tetap perlu dipahamai bahwa UUHC sejatinya melindungi hampir seluruh karya cipta yang dimungkinkan diciptakan oleh manusia. Namun, yang terjadi adalah isu perbedaan pendekatan yang dilakukan terhadap alih wujud dari karya cipta.

Halaman Selanjutnya:
Tags: