Hak Konstitusional Kelompok Penghayat Masih Dikebiri
Berita

Hak Konstitusional Kelompok Penghayat Masih Dikebiri

Kementerian Agama dituding sebagai salah satu penyebabnya.

HRS
Bacaan 2 Menit
Hak Konstitusional Kelompok Penghayat Masih Dikebiri
Hukumonline

Para penghayat kepercayaan tampaknya masih menghadapi masalah di Indonesia. Upaya mereka untuk mencatatkan perkawinan ala penghayat belum sepenuhnya berhasil meskipun aturan administrasi kependudukan sudah memungkinkan pencatatan.

Banyaknya perkawinan yang tidak tercatat ditengarai bersumber dari sikap Kementerian Agama yang hanya mengakui enam agama, dan berkorelasi dengan tata cara perkawinan yang sesuai ‘agama dan kepercayaan’.  Anggota Majelis Adat Karuhun Cigugur, Dewi Kanti, menuding andil Kementerian Agama terhadap masalah ini. “Ini adalah dosa kemanusiaan. Ini adalah kekejian spiritual,” tuding Dewi, di sela-sela seminar di Jakarta, Rabu (26/12) lalu.

Menurut Dewi, dosa yang dilakukan institusi ini adalah telah menentukan enam agama resmi yang diakui di Indonesia. Enam agama yang disebut dalam UU No. 1 Tahun 1956 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama, adalah Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha, dan Khonghucu.

Meski penduduk Indonesia boleh memeluk ajaran di luar enam agama tersebut, faktanyaInstruksi Menteri Agama No.4 Tahun 1978 ‘mengharuskan’ penghayat kepercayaan kembali ke agama induk, yang tak lain adalah keenam agama yang diakui tadi. Akibatnya, kelompok penghayat dalam posisi tersudut.

Menurut Dewi, aliran kepercayaan bersumber pada ajaran leluhur nusantara. Ajaran leluhur nusantara telah ada jauh sebelum enam agama besar masuk ke Indonesia. Ajaran leluhur nusantara justru yang memberikan restu kepada enam agama besar tersebut masuk ke Indonesia. “Leluhur kami telah memberikan restu kepada agama pendatang itu, tetapi sekarang kami yang justru disingkirkan. Kami ditaruh di pojok ruang gelap,” tukas Dewi.

Dewi memberi contoh, kelompok penghayat tidak dapat mencatat perkawinanmerekadi Kantor Catatan Sipil. Pegawai pencatat perkawinan enggan mencatatkan perkawinan para penghayat karena dianggap tidak memenuhi syarat sah perkawinan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

Saat ini, ada sekitar seribu pasangan kelompok penghayat yang perkawinannya tidak tercatat di kantor catatan sipil. Jumlah ini berasal dari kelompok penghayat yang masih ada di Indonesia, di antaranya adalah Parmalim dari Sumatera Utara, Langkah Lamo dari Jambi, Sedulus Sukep atau Jawa Wiwitan dari Jawa Tengah. Begitu juga dengan Sunda Wiwitan, Wetu Telo, dan Kaharingan. Pasangan-pasangan ini terus berupaya dan bertahan agar pegawai pencatat nikah mau mencatat perkawinan ini.

Selain tidak dapat mencatatkan perkawinannya, dampak lain dari tidak diakuinya ajaran ini di Indonesia, hak-hak sipil bagi kelompok penghayat tidak dipenuhi negara. Jika perkawinan tidak tercatat,kelompok penghayat kesulitan dalam memperoleh akta kelahiran dan melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi.

Dewi merasa mirismelihat realitas bahwa negara melanggar hak konstitusi rakyatnya untuk bebas memeluk suatu kepercayaan. Negara telah menempatkan kelompok penghayat sebagai seorang yang perlu dibina karena dianggap tidak bertuhan. Padahal, aliran kepercayaan dari kelompok penghayat adalah suatu aliran yang menggali nilai-nilai spiritual nusantara yang diwariskan leluhur. Ajaran nusantara memiliki “Tuhan”nya masing-masing dengan caranya masing-masing.“Sekarang, mari kita dengan niat tulus menghentikan dosa kemanusiaan ini,” pungkasnya.

Dalam kesempatan yang sama, Kepala Bidang pada Puslitbang Kehidupan Keagamaan Kementerian Agama Republik Indonesia, Kustini menolak berkomentar terkait hal ini.  Kendati demikian, Ia menampik persoalan ini disebabkan karena Kementerian Agama.

Menurutnya, Kementerian Agama tidak pernah mengatakan Indonesia hanya mengakui enam agama sebagaimana tertuang dalam UU No.1 Tahun 1965. Redaksi yang terdapat dalam undang-undang tersebut hanya menyebutkan agama mayoritas yang dipeluk rakyat Indonesia, bukan agama yang diakui.

Namun, Kustini memang mengakui bahwa dalam implementasinya adalah redaksi dari agama mayoritas yang dipeluk rakyat Indonesia menjadi agama yang diakui. Hal ini telah terjadi salah kaprah terkait pengertian agama yang diakui. Salah kaprah pemahaman ini, terlihat dari Pasal 64 ayat (2) UU No. 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan yang menggunakan kata-kata “diakui”.

Persoalan ini, kata dia, justru ranah Kementerian Dalam Negeri. Karena erat hubungannya dengan persoalan administrasi kependudukan. “Persoalan ini lebih banyak menjadi tanggung jawab Kementerian Dalam Negeri. Karena, persoalan pencatatan kependudukan adalah tanggung jawab Kementerian Dalam Negeri,” pungkasKustini.

Berdasarkan catatan hukumonline, Menteri Dalam Negeri (Mendagri) dan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata sudah pernah membuat Peraturan Bersama No. 43 dan 41 Tahun 2009 tentang Pedoman Pelayanan Kepada Penghayat Terhadap Tuhan Yang Maha Esa.

Tags: