Hakim dan Peradaban Bangsa
Kolom

Hakim dan Peradaban Bangsa

Apa yang mereka tuliskan dalam lembaran-lembaran putusan setiap perkara sedikit besarnya akan berkontribusi terhadap maju dan mundurnya peradaban bangsa Indonesia ke depan.

Dr. Despan Heryansyah, SH., MH. Foto: Istimewa
Dr. Despan Heryansyah, SH., MH. Foto: Istimewa

Ada sebuah adagium terjemahan bahasa Belanda yang begitu dikenal dalam kalangan penegak hukum khususnya hakim, “Kekeliruan seorang tabib bisa jadi berakhir dengan dikuburkannya pasien, namun kekeliruan seorang hakim dalam memutus perkara ada kemungkinan putusannya menjadi undang-undang (preseden. Pen.)”. Artinya, kekeliruan seorang hakim dalam memutus perkara, implikasinya tidak hanya dirasakan oleh pihak yang sedang berperkara, namun bisa jadi ia menjadi undang-undang yang dilegalkan dalam sebuah negara, atau paling tidak menjadi preseden bagi hakim-hakim lain dalam memutus perkara. Oleh karena itu, seorang hakim betul-betul dituntut untuk sangat berhati-hati dengan menggunakan seluruh kompetensi yang dimilikinya dalam memutus, jangan sampai terjadi kekeliruan apalagi jika kekeliruan itu disengaja.

Untuk menguatkan adagium di atas, Penulis akan menyertakannya dengan sebuah contoh putusan Mahkamah Agung Amerika Serikat dalam kasus Dred Scott v. Sandford (1857). Kasus yang diputus ketika Mahkamah Agung Amerika Serikat diketuai oleh Roger Brooke Taney itu menjadi “terkenal” karena hingga saat ini dianggap sebagai noktah paling gelap dalam sejarah Mahkamah Agung Amerika Serikat, bahkan dianggap sebagai putusan pengadilan paling buruk yang pernah ada. Inilah kisah ringkas dari kasus tersebut.

Kasus itu terjadi pada masa berlakunya undang-undang federal yang populer dengan sebutan missouri compromise yaitu sebuah undang-undang yang menghentikan upaya negara-negara bagian di belahan utara Amerika Serikat untuk melarang buat selamanya perluasan perbudakan dengan mengakui Missouri sebagai slave state, alias negara bagian yang mengabsahkan perbudakan, sebagai kompromi dari undang-undang yang melarang perbudakan di negara bagian lain, kecuali Missouri.

Baca juga:

Dikisahkan seorang laki-laki budak berkulit hitam yang bernama Dred Scott oleh tuannya diambil dari Missouri (negara bagian yang mengakui perbudakan) yang kemudian dibawa ke Illinois dan Wisconsin Territory, yang merupakan negara bagian di mana perbudakan dinyatakan ilegal. Ketika oleh tuannya dibawa kembali ke Missouri, Scott mengajukan gugatan dan menuntut pembebasan dirinya dari status budak dengan argumentasi bahwa oleh karena dirinya telah dibawa ke wilayah Amerika yang “bebas budak” maka secara otomatis dia juga bebas dan secara hukum tidak budak lagi. Scott mengajukan gugatannya ke pengadilan negara bagian, lalu ke pengadilan federal, namun keduanya tidak berpihak kepadanya. Scott akhirnya mengajukan banding ke Mahkamah Agung Amerika Serikat.

Dalam putusannya, Mahkamah Agung (dengan suara tujur berbanding dua) berpendapat, orang-orang kulit hitam “tidak termasuk, dan tidak dimaksudkan untuk dimasukkan, ke dalam kata ‘warga negara’ dalam konstitusi dan keistimewaan-keistimewaan yang oleh konstitusi disediakan bagi dan diperuntukkan kepada warga negara Amerika Serikat. Putusan tersebut menegaskan bahwa Scott adalah budak ke manapun ia perdi dan setiap saat dapat diklaim kembali oleh pemilik sahnya sesuai dengan ketentuan konstitusi yang melarang Kongres merampas life, liberty, dan property warga negara tanpa melalui due process of law. Dengan katan lain, menurut putusan ini, Scott adalah –atau tepatnya hanyalah – property seseorang.

Dengan putusan itu, Mahkamah Agung berharap dapat menyudahi kotroversi mengenai isu perbudakan yang telah membelah masyarakat Amrika Serikat selama berpuluh-puluh tahun. Namun, yang terjadi justru sebaliknya. Dengan mengatakan Missouri Compromise bertentangan dengan konstitusi, Dred Scott v. Sandford praktis mengakhiri “kompromi” politik yang telah berlangsung 40 tahun antara negara bagian yang pro dan kontra perbudakan. Sehingga alih-alih menyudahi, putusan itu justru meruncing permusuhan politik antara negara bagian utara dan selatan. Bahkan, diyakini putusan ini berkontribusi besar dalam menyulut perang saudara mengerikan yang terlangsung empat tahun lebih.

Tags:

Berita Terkait