Hakim PN Ini Jelaskan 3 Model Pertanggungjawaban Pidana Korporasi
Terbaru

Hakim PN Ini Jelaskan 3 Model Pertanggungjawaban Pidana Korporasi

Antara lain pengurus korporasi sebagai pembuat dan pengurus yang bertanggung jawab atas tindak pidana, korporasi sebagai pembuat dan pengurus bertanggung jawab, dan korporasi sebagai pembuat sekaligus bertanggung jawab atas tindak pidana.

Oleh:
Ferinda K Fachri
Bacaan 3 Menit
Hakim Pengadilan Negeri Ruteng, Syifa Alam (kiri) dalam sebuah diskusi online, Sabtu (23/03). Foto: FKF
Hakim Pengadilan Negeri Ruteng, Syifa Alam (kiri) dalam sebuah diskusi online, Sabtu (23/03). Foto: FKF

Korporasi berdasarkan Pasal 146 UU No. 1 Tahun 2023 tentang KUHP (KUHP Baru) ditafsirkan sebagai kumpulan terorganisasi dari orang dan/atau kekayaan, baik merupakan badan hukum yang berbentuk perseroan terbatas, yayasan, perkumpulan, koperasi, badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, badan usaha milik desa, atau yang disamakan dengan itu, maupun perkumpulan yang tidak berbadan hukum atau badan usaha yang berbentuk firma, persekutuan komanditer, atau yang disamakan.

“KUHP merupakan suatu induk dari ketentuan tindak pidana di Indonesia, UU lain mengatur tindak pidana khusus saja. Kemudian yang menarik dalam perkembangan zaman ini, di KUHP (lama) itu ada subjek hukum tindak pidana yaitu orang perorangan, belum mengatur korporasi. Akan tetapi (sekarang) diatur karena banyak orang perorangan yang memanfaatkan korporasi sebagai alat melakukan tindak pidana,” ujar Hakim Pengadilan Negeri Ruteng, Syifa Alam, dalam diskusi “Pertanggungjawaban Korporasi dalam KUHP Baru”, Sabtu (23/3/2024).

Ia menyebutkan adanya tiga model pertanggungjawaban pidana korporasi. Pertama, pengurus korporasi sebagai pembuat dan pengurus yang bertanggung jawab atas tindak pidana tersebut. Model ini sejalan dengan pandangan pakar hukum klasik yang salah satunya dilandasi asas societas delinquere non potest atau badan hukum tidak dapat melakukan tindak pidana sehingga pengurus yang harus diminta pertanggungjawaban.

Baca juga:

Kedua, korporasi sebagai pembuat dan pengurus bertanggung jawab. Untuk yang satu ini, pengurus yang ditunjuk sebagai yang bertanggung jawab atas tindakan yang dilakukan korporasi. Di mana orang yang memimpin memikul tanggung jawab pidana baik dirinya mengetahui ataukah tidak atas perbuatan tersebut. Ketiga, korporasi sebagai pembuat sekaligus bertanggung jawab atas tindak pidana.

“Ini yang dianut juga di KUHP baru, di mana korporasi menjadi subjek hukum tindak pidana dan dia dapat melakukan kesalahan dan dia juga yang bertanggung jawab atas kesalahan yang diperbuat. Dalam model ini, korporasi sebagai pembuat dan juga sebagai yang bertanggung jawab. Model ini cocok untuk tindak pidana ekonomi apabila dikenakan denda sebagai hukuman kepada pengurus terhadap perbuatan tindak pidana yang menyebabkan kerugian timbul di masyarakat,” tutur Syifa Alam.

Lebih lanjut, dalam memandang korporasi sebagai pelaku tindak pidana, menurutnya terdapat dua cara untuk “memanusiakan” badan hukum. Antara lain dengan mengaitkan karakteristik atau sifat subjek hukum manusia yang menjadi bagian badan hukum dan dengan melihat badan hukum sebagai suatu gesamtperson atau yang dia sebut 'makhluk super dengan sifat atau karakteristik manusia'.

Untuk diketahui, dalam Pasal 45 ayat (1) UU No. 1 Tahun 2023 tentang KUHP (KUHP Baru) telah tegas menjadikan korporasi sebagai subjek tindak pidana. Di mana tindak pidana yang dilakukan korporasi merupakan tindak pidana yang dilakukan oleh pengurus yang mempunyai kedudukan fungsional dalam struktur organisasi Korporasi atau orang yang berdasarkan hubungan kerja atau berdasarkan hubungan lain yang bertindak untuk dan atas nama korporasi.

Melalui KUHP Baru ditetapkan pula bahwa tindak pidana oleh korporasi dapat dilakukan oleh pemberi perintah, pemegang kendali, atau pemilik manfaat Korporasi yang berada di luar struktur organisasi, tetapi dapat mengendalikan Korporasi. Adapun terdapat lima hal yang harus diperhatikan untuk suatu tindak pidana korporasi dapat dimintai pertanggungjawaban pidananya berdasarkan Pasal 48 KUHP Baru. 

Selengkapnya, termasuk dalam lingkup usaha atau kegiatan sebagaimana ditentukan dalam anggaran dasar atau ketentuan lain yang berlaku bagi Korporasi; menguntungkan Korporasi secara melawan hukum; diterima sebagai kebijakan Korporasi. Korporasi tidak melakukan langkah-langkah yang diperlukan untuk melakukan pencegahan, mencegah dampak yang lebih besar dan memastikan kepatuhan terhadap ketentuan hukum yang berlaku guna menghindari terjadinya tindak pidana; dan/atau Korporasi membiarkan terjadinya tindak pidana.

Tags:

Berita Terkait