Hambatan Indonesia untuk Capai Pemenuhan Target Perubahan Iklim
Kolom

Hambatan Indonesia untuk Capai Pemenuhan Target Perubahan Iklim

Khususnya melalui instrumen penataan ruang.

Bacaan 5 Menit
Etheldreda E.L.T Wongkar. Foto: Istimewa
Etheldreda E.L.T Wongkar. Foto: Istimewa

Pada 12 Desember 2020 lalu masyarakat dunia merayakan lima tahun pasca Perjanjian Paris atau Paris Agreement diadopsi dalam COP 21. Perjanjian Paris berhasil mengajak negara-negara untuk membentuk komitmen global dalam memenuhi target perubahan iklim. Salah satu hasilnya berupa kewajiban menyusun Nationally Determined Contribution (NDC) bagi negara anggota. Indonesia sendiri membentuk NDC pertamanya pada tahun 2016. Dalam NDC tersebut, Indonesia menyatakan komitmennya untuk mengurangi emisi gas rumah kaca dengan kemampuan sendiri, salah satunya melalui pemanfaatan instrumen tata ruang yang efektif dalam rangka mitigasi pengurangan emisi.

Penataan ruang sendiri merupakan salah satu instrumen dasar pengendali pembangunan guna meningkatkan keserasian, harmoni, dan keseimbangan antara kawasan dengan sub-sistemnya. Dalam rezim UU 26/2007, penataan ruang difungsikan untuk memberi perlindungan terhadap fungsi ruang dan pencegahan dampak negatif terhadap lingkungan hidup akibat pemanfaatan ruang, salah satunya adalah perubahan iklim yang berdampak pada pemanasan global.

Integrasi dan korelasi antara tata ruang dan perubahan iklim menjadi signifikan pasca meningkatnya atensi masyarakat dunia terhadap isu pemanasan global dan perubahan iklim selama satu dekade terakhir. Indonesia, dalam dokumen Nationally Determined Contribution (NDC) menyatakan komitmennya untuk menurunkan emisi Gas Rumah Kaca dengan kemampuan sendiri salah satunya melalui perencanaan tata guna lahan dan tata ruang yang efektif. Sayangnya hingga kini pencapaian target NDC melalui keduanya belum dapat terpenuhi secara optimal. Menurut Penulis hal ini dilandaskan setidaknya pada beberapa alasan.

Pertama adalah masih belum adanya legislasi dan kehendak politik yang kuat untuk tercapainya komitmen. Sejatinya hingga saat ini belum ada produk hukum yang secara konkrit membahas mengenai pengejawantahan komitmen penurunan emisi gas rumah kaca melalui instrumen tata ruang. Sehingga tindak lanjut dari komitmen pada NDC tersebut hanya ditemukan melalui program atau kebijakan strategis dari badan atau kementerian terkait yang diatur dan diimplementasikan secara parsial dan tidak terarah.

Kedua adalah terkait minimnya koordinasi antar kelembagaan yang terkait. Perlu dipahami bahwa saat ini antara perubahan iklim dan tata ruang terletak dalam dua rezim kewenangan yang berbeda. Penataan ruang dipegang oleh Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (Kementerian ATR/BPN), sementara isu perubahan iklim di bawah kewenangan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).

Pada dokumen Rencana Strategis periode 2015-2019 Kementerian ATR/BPN, isu perubahan iklim baru ditempatkan sebagai upaya adaptasi dalam merespon perubahan iklim dan belum menjadi prioritas. Hal ini juga diteruskan pada penyusunan Rencana Strategis periode 2020-2024 yang lagi-lagi tidak memasukan isu perubahan iklim sebagai bagian dari tujuh prioritas capaian strategis yang hendak dicapai Kementerian ATR/BPN.

Pada Rencana Strategis KLHK 2020-2024, kolaborasi antara KLHK dengan Kementerian ATR/BPN dalam upaya mencapai perencanaan tata ruang yang awas akan dampak perubahan iklim juga belum terlihat. Baru kemudian dalam Workshop Elaborasi NDC Adaptasi Perubahan Iklim yang dilaksanakan Direktorat Jenderal Tata Ruang pada 2018, salah satu langkah strategis yang dicanangkan adalah peningkatan kualitas kajian risiko perubahan iklim dan dukungan pengintegrasiannya ke dalam rencana tata ruang.

Hanya saja hingga kini upaya kolaborasi antar kedua kementerian tersebut belum terejawantahkan dengan maksimal dengan strategi kolaborasi yang terbilang masih terbilang minim. Hal ini menjadikan integrasi antara tata ruang dan perubahan iklim cenderung stagnan tanpa progres yang berarti, apalagi dengan belum terinventarisirnya data ecological footprint dan carrying capacity yang mutakhir.

Ketiga yakni belum berfungsinya KLHS secara optimal. Melalui UU 32/2009 dan UU 26/2007, hubungan antara perubahan iklim dengan penataan ruang dijembatani oleh satu dokumen pengkajian yang disebut Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) sebagai dokumen pengkajian yang mengkaji dan memastikan bahwa prinsip pembangunan berkelanjutan telah menjadi dasar dan terintegrasi dalam kebijakan, rencana dan/atau program tata ruang.

Dalam rezim UU 32/2009, KLHS diletakkan sebagai dasar pembentukan dan penyusunan rencana tata ruang, rencana pembangunan, serta rencana perubahan peruntukan dan fungsi lahan (Pasal 19). Adapun KLHS wajib dilakukan pada penyusunan atau evaluasi atas rencana tata ruang wilayah yang berpotensi menimbulkan dampak dan/atau risiko lingkungan hidup (Pasal 15) dengan salah satu variabel dampak yakni perubahan iklim (Penjelasan Pasal 15). Hal ini ditegaskan kembali dalam ketentuan Pasal 16 di mana dokumen KLHS wajib memuat di antaranya kapasitas daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup untuk pembangunan, kinerja layanan/jasa ekosistem, efisiensi sumber daya alam, tingkat kerentanan dan kapasitas adaptasi terhadap perubahan iklim dan tingkat ketahanan dan potensi keanekaragaman hayati (Pasal 16).

Sayangnya pada implementasinya, KLHS sendiri belum difungsikan optimal dalam mengkaji potensi permasalahan lingkungan. KLHS sering kali hanya dianggap sebagai beban administrasi dengan muatan yang seringkali sekadar copy-paste dengan proyek serupa. Keberadaannya juga acap kali hanya dijadikan momentum korupsi. Sehingga meskipun secara normatif aturan yang ada telah memadai, KLHS belum dapat difungsikan sebagai instrumen yang mampu menjawab dan mencegah persoalan lingkungan, apalagi terkait perubahan iklim.

UU Cipta Kerja yang baru saja disahkan pada 5 Oktober 2020 lalu juga kemudian semakin melemahkan fungsi KLHS. Hal ini dikarenakan UU Cipta Kerja menambahkan pasal baru mengenai penataan ruang, yakni: “Pelaksanaan penyusunan rencana tata ruang dilakukan dengan memperhatikan aspek daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup dan KLHS”.

Secara gramatikal penggunaan kata “memperhatikan” tidak memiliki daya paksa yang kuat mengingat kedua unsur tersebut menjadi hanya diposisikan sebagai suatu dokumen yang perlu diperhatikan dalam penyusunan RTRW. Lebih dari itu KLHS menjadi hanya ditempatkan dalam tahap penyusunan, tidak lagi dalam tahap penyusunan dan evaluasi. Sehingga alih-alih menyelesasikan permasalahan KLHS saat ini. UU Cipta Kerja justru memperlemah fungsi KLHS sehingga menciptakan permasalahan baru.

Keempat, yakni belum dipertimbangkannya asas kehati-hatian (precautionary principles) dalam perencanaan ruang di Indonesia. Asas kehati-hatian pada prinsipnya menghendaki manakala belum ada kepastian tentang dampak atau potensi kerusakan yang akan ditimbulkan dari sebuah kebijakan pembangunan, maka keputusan terkait dampak yang belum pasti tersebut tidak boleh diambil. Artinya segala bentuk kebijakan pembangunan yang dapat meningkatkan risiko pemanasan global haruslah dihindari, meski hingga saat ini belum ada ilmuan yang dapat secara pasti menunjukan seberapa serius dampak perubahan iklim nantinya. Sayangnya di Indonesia, belum optimalnya penerapan fungsi KLHS disamping masih mengakarnya budaya korupsi pada proses pengurusan izin, menjadikan asas kehati-hatian belum dapat dijadikan dasar dalam kebijakan penataan ruang di Indonesia.

Dalam upaya perwujudan sinergitas antara perubahan iklim dan penataan ruang. Maka pertama-tama perlu ada komitmen yang tegas dan konkrit mengenai bagaimana proyeksi penataan ruang Indonesia dengan memasukan unsur pemenuhan target NDC serta memberikan pemisahan tegas terhadap tugas dan kewenangan lembaga-lembaga terkait.

Sejalan dengan hal tersebut, perlu dibangun pula kolaborasi antara KLHK dan Kementerian ATR/BPN yang didukung oleh basis data yang kuat dalam rangka membentuk peta jalan penataan ruang Indonesia yang ramah iklim. Lalu upaya penguatan KLHS sebagai instrumen penengah kedua isu juga perlu terus didorong, utamanya dalam rangka meminimalisir potensi korupsi. Dari segi substansinya, asas kehati-hatian perlu ditambahkan sebagai asas yang melandasi perencanaan ruang guna efektivitas pencapaian target komitmen perubahan iklim.

*)Etheldreda E.L.T Wongkar adalah Pemerhati Hukum Lingkungan Hidup.

Artikel kolom ini adalah tulisan pribadi Penulis, isinya tidak mewakili pandangan Redaksi Hukumonline.

Tags:

Berita Terkait