Eksekusi Pidana Tambahan Pemulihan Lingkungan Hidup Berpotensi Sulit Dilaksanakan
Utama

Eksekusi Pidana Tambahan Pemulihan Lingkungan Hidup Berpotensi Sulit Dilaksanakan

Karena pengaturannya belum jelas. Diusulkan diatur lebih lanjut dalam RPP amanat perubahan Pasal 55 UU No.32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup yang telah diubah melalui UU No.11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.

Oleh:
Ady Thea DA
Bacaan 3 Menit
Foto: LeIP
Foto: LeIP

Ketentuan pidana dalam Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU PPLH) sebagai salah satu upaya melindungi kepentingan lingkungan hidup dan masyarakat terdampak. Salah satu ketentuan yang terkait dengan hal ini adalah adanya sanksi pidana tambahan berupa perbaikan (pemulihan) akibat tindak pidana lingkungan hidup yang diatur Pasal 119 huruf c. Pidana tambahan ini dapat dijatuhkan hakim apabila tindak pidana lingkungan hidup dilakukan oleh badan usaha.

UU PPLH itu mengatur ada 5 bentuk pidana tambahan atau tindakan tata tertib yang dapat dikenakan untuk badan usaha. Pertama, perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana. Kedua, penutupan seluruh atau sebagian tempat usaha dan/atau kegiatan. Ketiga, perbaikan akibat tindak pidana. Keempat, kewajiban mengerjakan apa yang dilalaikan tanpa hak. Kelima, penempatan perusahan di bawah pengampuan paling lama 3 tahun.

Peneliti Senior Lembaga Kajian dan Advokasi Indepedensi Peradilan (LeIP), Arsil menilai pidana tambahan untuk badan usaha dalam perkara pidana lingkungan hidup itu berpotensi sulit dilaksanakan karena pengaturannya belum jelas. Hasil penelitian LeIP terhadap putusan kasus lingkungan periode 2016-2019 menemukan total 643 putusan perkara lingkungan meliputi 406 pidana, 73 perdata, dan 164 TUN. Khusus untuk perkara lingkungan hidup, ada 58 putusan dengan kasus paling banyak terkait pelanggaran pengelolaan limbah B3 dan dumping limbah ilegal.

“Kami menemukan ada 10 perkara dengan terdakwa badan usaha. Dari 10 perkara itu, 9 terbukti bersalah dan 6 dijatuhkan pidana tambahan atau tindakan tata tertib, 4 terpidana dijatuhi pidana tambahan perbaikan akibat tindak pidana,” kata Arsil dalam diskusi publik secara daring bertajuk “Eksekusi Tindakan Perbaikan Akibat Pidana Lingkungan”, Kamis (21/1/2021). (Baca Juga: Beberapa Tantangan dalam Eksekusi Putusan Karhutla)

Dari 4 putusan pidana tambahan berupa perbaikan akibat tindak pidana lingkungan itu, Arsil menyebut 2 putusan menyebut detail pidana tambahan yang dijatuhkan. Misalnya, dalam putusan bernomor 228/Pid.Sus/2013/PN.Plw dengan terdakwa PT. Adei Plantation, menjatuhkan pidana tambahan berupa perbaikan akibat tindak pidana untuk memulihkan lahan yang rusak akibat kebakaran hutan seluas 40 hektar melalui pemberian kompos dengan biaya sebesar Rp15 miliar.

Untuk putusan yang tidak memuat detail pidana tambahan, seperti termuat dalam putusan bernomor 25/Pid.B-LH/2019/PN.Nla dengan terdakwa PT. Prima Indo Persada, menjatuhkan pidana tambahan atau tindakan teta tertib berupa perbaikan akibat tindak pidana.

Menurut Arsil, model putusan terkait bentuk pidana tambahan praktiknya tidak seragam karena ada hakim yang memerintahkan detail apa yang harus dilakukan, dan ada yang tidak. Dari kedua putusan tersebut terlihat adanya perbedaan bagaimana amar putusan pidana tambahan dijatuhkan dimana yang satu menyebutkan secara cukup rinci apa yang harus dilakukan terdakwa sementara dalam putusan lainnya tidak.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait