Eksekusi Pidana Tambahan Pemulihan Lingkungan Hidup Berpotensi Sulit Dilaksanakan
Utama

Eksekusi Pidana Tambahan Pemulihan Lingkungan Hidup Berpotensi Sulit Dilaksanakan

Karena pengaturannya belum jelas. Diusulkan diatur lebih lanjut dalam RPP amanat perubahan Pasal 55 UU No.32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup yang telah diubah melalui UU No.11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.

Oleh:
Ady Thea DA
Bacaan 3 Menit

Hal ini disebabkan tidak ada ketentuan yang mengatur parameter untuk menentukan apakah pidana tambahan itu telah selesai dilakukan atau belum. Kemudian, tidak jelas apa konsekuensi hukum jika pidana tambahan tidak dilaksanakan secara penuh atau sebagian. “Berbagai persoalan ini berpotensi mempersulit eksekusi pidana tambahan,” kata dia.

Arsil menekankan perlunya instrumen hukum agar pidana tambahan itu dapat dilaksanakan. Misalnya dalam perkara tindak pidana korupsi ada mekanisme uang pengganti, penyitaan dan perampasan kekayaan atau pidana pengganti. Menurutnya, UU PPLH luput mengatur instrumen pemaksa ini dalam upaya eksekusi pemulihan kerusakan lingkungan, sehingga menyebabkan ketidakpastian hukum. “Ini merugikan lingkungan hidup,” kata dia.

Perlu PP dalam UU Cipta Kerja

Asisten Khusus Jaksa Agung, Narendra Jatna, mengusulkan perbaikan mengenai pengaturan eksekusi pidana tambahan atau tindakan tata tertib yang dapat dikenakan untuk badan usaha melalui Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) yang dimandatkan Perubahan Pasal 55 UU PPLH dalam UU Cipta Kerja. Pasal 55 itu, pada intinya mengatur tentang kewajiban pemegang izin atau persetujuan wajib menyediakan dana penjaminan untuk pemulihan fungsi lingkungan hidup. Dengan pengaturan lewat PP ini, Narenda menyebut penjatuhan pidana tambahan atau tindakan tata tertib tidak perlu dibuat detail dalam putusan.

“Tidak perlu dimasukan detail dalam putusan, yang penting dijelaskan detail dalam PP saja,” usulnya.

Peneliti ICEL, Marsya Mutmainah Handayani, mengatakan tujuan pemidanaan dalam perkara lingkungan hidup, antara lain terdapat dalam Pasal 3 UU PPLH. Kejahatan lingkungan hidup banyak dilakukan korporasi karena dampaknya sangat besar. Dalam praktiknya, perkara lingkungan sanksi yang dijatuhkan kebanyakan pidana dan denda. Menurutnya, pidana denda tidak serta merta dapat langsung digunakan untuk kepentingan lingkungan hidup karena denda yang dibayar itu masuk menjadi pendapatan negara bukan pajak (PNBP).

Marsya menambahkan yang menjadi korban dalam perkara lingkungan hidup yakni lingkungan itu sendiri. Karena itu, lingkungan sebagai korban harus mendapat keadilan melalui pidana tambahan berupa pemulihan lingkungan. “Prinsip dalam lingkungan hidup itu pencemar yang membayar yakni korporasi yang merusak lingkungan hidup, bukan negara yang harus menanggulangi kerusakan berikut dampaknya.”

Tags:

Berita Terkait