Turbulensi politik bukan satu-satunya tantangan besar pemerintahan Jokowi-JK. Tantangan lainnya yang juga cukup berat adalah menghadapi persoalan ekonomi Indonesia. Terutama, terkait upaya pemenuhan kebutuhan lapangan kerja baru yang meningkat drastis seiring dengan membengkaknya jumlah angkatan kerja baru, keterbatasan ruang fiskal, dan pengentasan kemiskinan. Belum lagi masuknya tenaga kerja asing dalam perekonomian regional MEA.
Menurut Direktur Eksekutif Tranformasi Nugroho Wienarto, tantangan ekonomi tersebut menjadi tugas besar pemerintahan Jokowi-JK, di tengah besarnya ekspektasi publik kepada pasangan ini. Untuk itu, Jokowi-JK harus memiliki strategi kebijakan ekonomi yang tepat dan fokus untuk memenuhinya. “Publik juga mempunyai ekspektasi yang sangat tinggi dalam hal ini kepada mereka (Jokowi-JK),” kata Nugroho di Jakarta, Kamis (09/10).
Nugroho melanjutkan, Jokowi-JK harus memapu menciptakan 21 juta lapangan kerja baru untuk Indonesia. Hal tersebut juga harus diiringi dengan pertumbuhan ekonomi di atas 10 persen.
Penasihat Senior Transformasi Bidang Kajian Ekonomi Jonathan Pincus mengatakan, tak ada yang ebih penting bagi Indonesia dalam waktu 5-10 tahun ke depan selain menyediakan lapangan kerja bagi rakyat. Pasalnya, setiap tahun di Indonesia muncul 2 juta angkatan kerja baru. “Jika pemerintahan Jokowi-JK gagal mengatasi masalah ini, akan sangat berbahaya,” katanya.
Ia mencatat, rata-rata pertumbuhan ekonomi Indonesia dalam beberapa waktu terakhir hanya berkisar 5-6 persen. Pertumbuhan ekonomi tersebut hanya menyerap 800.000 angkatan kerja baru. Sisanya, sebanyak 1,2 juta orang harus menganggur atau bekerja di sektor informal dengan upah minim dan kualitas hidup rendah.
Bahkan pada era Pemerintahan SBY, pertumbuhan ekonomi Indonesia lebih banyak ditopang oleh lonjakan harga komoditas, terutama harga mineral tambang yang terjadi di pasar global. Sementara itu, di sektor manufaktur padat karya yang semestinya dapat menyerap tenaga kerja, justru tak pernah lagi tumbuh dalam pangsa manufaktur global sejak 1995. Selama pemerintahan SBY nyaris tak ada gebraan kebijakan ekonomi yang dapat memacu pertumbuhan.
Disamping itu, Jonathan menilai pemerintahan Jokoei-JK berpeluang menghadirkan pertumbuhan ekonomi dua digir atau dia tas 10 persen. Hal ini salah satunya adalah imbas dari penurunan ekonomi Tiongkok, negara yang mendominasi sektor manufaktur dunia dalam beberapa decade terakhir, menyusul kian mahalnya upah buruh dan peralihan tahap industrialisasi di negara tersebut ke industri yang tak lagi padat karya.
Kondisi tersebut, lanjutnya, akan menyebabkan peralihan sektor industri manufaktur ke negara lain. Indonesia berpeluang untuk menerima pindahan tersebut karena memiliki sumber daya paling mendukung dibanding negara-negara lain di Asia, termasuk Thailand dan Vietnam, terutama jumlah tenaga kerja yang berlimpah. “Jika 7 persen saja manufaktr dari Tiongkok berpindah ke Indonesia, maka akan ada 21 juta lapangan kerja baru yang layak akan muncul,” ujarnya.
Kemudian penduduk miskin yang saat ini berkisar pada angka 40 persen dari total jumlah penduduk akan dapat dikurangi. Bertumbuhnya sektor manufaktur juga akan mendongkrak pendapatan nasional, sehingga memperbaiki ruang fiskal dalam anggaran negara.
Namun, untuk meraih peluang tersebut, pemerintahan Jokowi-JK harus menempuh beberapa hal. Antara lain, menyiapkann infrastruktur yang memadai, menarik investasi swasta asing dengan memperbaiki perizinan dan memberantas korupsi, dan mengurangi subsidi bahan bakar minyak (BBM) guna memperbesar investasi publik.
Direktur Megawati Institute, Arif Budimanta mengatakan pertumbuhan ekonomi harus diikuti dengan ketersediaan lapangan kerja yang berkualitas. Pemerintahan Jokowi-JK, akan memperjuangkan pertumbuhan ekonomi 10 persen dan dalam waktu lima tahun akan menyerap 25 juta lapangan kerja. Program perluasan lapangan kerja juga akan ditingkatkan “Untuk itu, daya saing harus dilandasi dengan peningkatan produktivitas,” ungkapnya.