Harapan dari Bekas Lokasi Eksekusi Mati di Era Kolonial
Berita

Harapan dari Bekas Lokasi Eksekusi Mati di Era Kolonial

Pengadilan masih terus jatuhkan hukuman mati.

Moh. Dani Pratama Huzaini
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi hukuman mati. Foto: BAS
Ilustrasi hukuman mati. Foto: BAS

Pada zaman kolonial Belanda, sejumlah orang yang dianggap sebagai musuh pemerintah kolonial dipenjarakan, sebagian malah dieksekusi mati. Salah satu lokasi eksekusi mati adalah di sekitar yang sekarang disebut Kota Tua di Jakarta. Kawasan ini sekarang sudah menjadi lokasi wisata.

Seakan mengenang peristiwa itu, peringatan Hari Anti Hukuman Mati Internasional di Indonesia dipusatkan di kawasan Kota Tua Jakarta, Rabu (10/10). Peringatan itu menjadi momentum untuk merefleksikan politik hukum pemerintah mengenai hukuman mati. Hingga saat ini hukuman mati masih diakui dan dijalankan. Beberapa peraturan perundang-undangan masih memuat ancaman hukuman mati di tengah desakan agar Indonesia menghapus hukuman mati.

Berdasarkan data Amnesty International Indonesia hingga saat ini sebanyak 299 orang terpidana tengah menunggu waktu pelaksanaan hukuman mati. Sepanjang 2018, Pengadilan bahkan telah menjatuhkan vonis hukuman mati terhadap 37 orang terpidana. Sebanyak 28 terkait penyalahgunaan narkoba, 8 terkait kasus pembunuhan, dan 1 kasus terkait tindak pidana terorisme. Ada 8 orang warga negara asing yang berasal dari Taiwan. Sekadar perbadingan, pada 2017 ada 47 orang divonis hukuman mati.

Hukuman mati yang merupakan bentuk represi pemerintah kolonial terhadap rakyat jajahan, hingga saat ini masih diterapkan oleh Pemerintah terhadap rakyat dari sebuah negara merdeka seperti Indonesia. “Diterapkan di zaman kolonial dan aturan itu masih dipakai di negeri ini,” ujar Ketua Asosiasi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta, Asnil Bambani di hadapan wartawan, dalam peringatan Hari Anti Hukuman Mati tahun 2018.

(Baca juga: Dua Hak Ini Sulitkan Kejaksaan Eksekusi Terpidana Mati).

Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid, menjelaskan terpidana mati kerap mengalami perlakuan tidak manusiawi selama dalam masa tahanan, hingga waktu pelaksanaan eksekusi. Dalam banyak kasus, terpidana ditempatkan dalam ruang isolasi yang sangat ketat, tidak diberikan perawatan medis yang memadai dan hidup dalam ketakutan menunggu eksekusi. “Otoritas terkait sering mengabarkan rencana eksekusi kepada terpidana mati hanya beberapa saat menjelang eksekusi mati dilaksanakan,” ujar Usman.

Selama 40 tahun terakhir Amnesty International telah melakukan kampanye untuk menghapus hukuman mati di dunia. Amnesty menemukan fakta antara lain sering terjadi kesalahan terhadap pelaksanaan hukuman mati. Sejak 1973, lebih dari 160 tahanan yang dijatuhi hukuman mati di Amerika Serikat, kemudian dibebaskan dari hukuman mati karena diketahui tidak bersalah dikemudian hari. Yang lain terlanjur dieksekusi meski ada keraguan serius tentang kesalahan mereka.

Selain itu, hukuman mati sering disalahgunakan oleh sistem peradilan yang tidak adil. Dalam banyak kasus yang dicatat Amnesty International, orang-orang dieksekusi mati detelah melalui proses peradilan yang tidak adil. Evaluasi yang paling mendasar misalnya, hukuman mati secara tidak proporsional ditimpakan kepada orang-orang dengan latar belakang sosio-ekonomi yang kurang diuntungkan. Termasuk orang yang memiliki akses terbatas pada pendampingan hukum yang layak.

Misalnya, kasus yang menimpa Yusman Telambanua. Pengacara Yusman, yang ditunjuk negara, justru meminta kliennya dihukum mati dan luput memberitahukan hak Yusman mengajukan banding. Ia beruntung masih bisa lolos dari eksekusi. Yusman ‘lolos’ dari maut karena mendapat pengacara baru dari Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS).

Pengacara-pengacara dari KontraS berhasil menunjukkan sistem peradilan pada kasus Yusman terbukti tidak adil dan memihak, sekaligus menjadi bukti adanya persoalan serius pada praktik hukuman mati di Indonesia. Kisah seperti ini sulit terjadi kepada orang mampu. Pada kenyataannya, faktor-faktor yang sama sekali tidak ada hubungannya dengan kejahatan itu sendiri dapat menjadi penyebab hidup dan mati orang akibat praktik peradilan pidana yang tidak adil. “Kasus Yusman adalah kombinasi mematikan antara hukuman mati dan kemiskinan,” ujar Usman.

(Baca juga: Sudah Saatnya Indonesia Berbenah Soal Hukuman Mati).

Hingga kini Indonesia masih tergolong sebagai negara retensionis hukuman mati. Artinya, di Indonesia masih terdapat peraturan perundang-undangan yang menerapkan hukuman mati dan masih menjatuhkan vonis hukuman mati atau melakukan eksekusi hukuman mati dalam 10 tahun terakhir. Menurut Usman, Amnesty International Indonesia tidak menolak penghukuman pelaku-pelaku kriminal yang memang seharusnya dihukum.

Namun Amnesty International Indonesia menolak penggunaan hukuman mati yang kejam, tidak manusiawi, dan merendahkan martabat. Hal senada disampaikan peneliti Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Sustira Dirga. “Yang dihapus adalah penggunaan hukuman matinya, bukan hukuman terhadap terpidana”.

Jika dipandang bahwa hukuman mati akan menimbulkan efek jera pada yang lain, tidak sepenuhnya benar. Misalnya, hukuman mati sering dijatuhkan kepada terpidana terorist oleh pemerintah. Namun eksekusi justru menimbulkan potensi kemunculan “martir” baru yang berani berkorban demi keyakinan mereka. Apalagi, sejumlah pelaku diketahui justru bersedia mati ketika melakukan tindakannya.

Catatan Amnesty International Indonesia, hukuman mati sering dijatuhkan kepada teroris dan pemerintah dalam pelaksanaan eksekusi sering terjebak dengan euforia populis. Dukungan public seringkali kuat terhadap eksekusi hukuman mati. Hal ini jika ditelusuri lebih jauh, berangkat dari keyakinan yang salah bahwa hukuman mati berarti berurangnya tingkat kejahatan. Pemerintah seringkali ikut pula mempromosikan ide keliru ini meskipun tidak ada bukti yang valid.

Argumen ini juga sering menjadi dalil negara-negara di dunia dalam melakukan eksekusi. Secara umum, negara-negara penganut hukuman mati menjelaskan hukuman mati sebagai cara mencegah orang melakuka kembali kejahatan di kemudian hari. Klaim ini telah berulang kali dipatahkan karena ketiadaan data yang mengatakan hukuman mati efektif dalam mengurangi kejahatan ketimbang hukuman penjara. Karena itu, harapan untuk menghapuskan hukuman mati kembali bergema di Kota Tua Jakarta.

Asnil Bambani dari Aji menyoroti peran media dalam memberitakan “tragedi” hukuman mati yang dilaksanakan oleh negara terhadap para terpidana. Menurut Asnil, selama ini banyak media yang kehilangan daya kritis saat melakukan peliputan terhadap berita hukuman mati. Lebih jauh, ia menyebutkan bahwa terdapat jurnalis media yang secara sikap menolak hukuman mati, namun dalam pemberitaannya justru didominasi narasi yang mendukung eksekusi mati.

Tags:

Berita Terkait