Harmonisasi Regulasi Produk Halal di RUU Cipta Lapangan Kerja
Berita

Harmonisasi Regulasi Produk Halal di RUU Cipta Lapangan Kerja

Sebelumnya beredar informasi jika RUU Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja menghapus kewajiban sertifikasi halal seperti yang tercantum di dalam UU JPH.

Oleh:
Fitri Novia Heriani
Bacaan 2 Menit
Ilustrator: HGW
Ilustrator: HGW

Undang-Undang No. 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal disebut-sebut masuk dalam bagian UU yang akan diatur dalam RUU Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja. Saat ini draft RUU Cipta Lapangan Kerja tengah dibahas oleh pemerintah. Kabarnya draft RUU tersebut siap diserahkan ke DPR dalam waktu dekat.

 

Sebelumnya beredar informasi jika RUU Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja menghapus kewajiban sertifikasi halal seperti yang tercantum di dalam UU JPH. Namun dikutip dari dokumen naskah akademis edisi pertama yang diperoleh hukumonline, RUU Omnibus Law Cipta Lapangan kerja hanya memasukkan beberapa pasal dari UU JPH yakni Pasal 26, Pasal 47, Pasal 50,dan Pasal 51.

 

Pasal 26:

  1. Pelaku Usaha yang memproduksi Produk dari Bahan yang berasal dari Bahan yang diharamkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 dan Pasal 20 dikecualikan dari mengajukan permohonan Sertifikat Halal.
  2. Pelaku Usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib mencantumkan keterangan tidak halal pada Produk.

Pasal 47:

  1. Produk Halal luar negeri yang diimpor ke Indonesia berlaku ketentuan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini.
  2. Produk Halal, sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak perlu diajukan permohonan Sertifikat Halalnya sepanjang Sertifikat Halal diterbitkan oleh lembaga halal luar negeri yang telah melakukan kerja sama saling pengakuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 ayat (2).
  3. Sertifikat Halal sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib diregistrasi oleh BPJPH sebelum Produk diedarkan di Indonesia.
  4. Ketentuan mengenai tata cara registrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dalam Peraturan Pemerintah.

Pasal 50:

Pengawasan JPH dilakukan terhadap:

  1. LPH;
  2. masa berlaku Sertifikat Halal;
  3. kehalalan Produk;
  4. pencantuman Label Halal;
  5. pencantuman keterangan tidak halal;
  6. pemisahan lokasi, tempat dan alat penyembelihan, pengolahan, penyimpanan, pengemasan, pendistribusian, penjualan, serta penyajian antara Produk Halal dan tidak halal;
  7. keberadaan Penyelia Halal; dan/atau
  8. kegiatan lain yang berkaitan dengan JPH.

Pasal 51:

  1. BPJPH dan kementerian dan/atau lembaga terkait yang memiliki kewenangan pengawasan JPH dapat melakukan pengawasan secara sendiri-sendiri atau bersama-sama.
  2. Pengawasan JPH dengan kementerian dan/atau lembaga terkait sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

 

Direktur Eksekutif Indonesia Halal Watch, Ikhsan Abdullah menyampaikan bahwa diterapkannya Omnibus Law merupakan semangat untuk mengharmonisasikan semua peraturan perundang-undanganyang mengatur tentang sesuatu yang memiliki kesamaan tetapi dengan ketentuan yang berbeda. Hal ini memberikan dampak menyulitkan penegakan hukumnya dan di bidang investasi dapat menghambat pertumbuhan ekonomi.

 

Secara tidak langsung fungsi dari Omnibus Law ini bisa mengatasi konflik peraturan perundang-undangan secara cepat, efektif dan efisien, menyeragamkan kebijakan pemerintah baik di tingkat pusat maupun didaerah untuk menunjang iklim investasi; pengurusan perizinan lebih terpadu, efisien dan efektif; mampu memutus rantai birokrasi yang berlama-lama; meningkatnya hubungan koordinasi antar instansi terkait karena telah diatur dalam kebijakan omnibus regulation yang terpadu, dan adanya jaminan kepastian hukum dan perlindungan hukum bagi pengambil kebijakan.

 

(Baca: RUU Cipta Lapangan Kerja Hanya Cabut Aturan yang Hambat Investasi)

 

Terkait dengan RUU Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja yang akan menyesuaikan kembali sejumlah pasal dalam Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal, Ikhsan menyambut baik dan menilai hal tersebut memberikan dampak positif. Hal ini  mengingat masih terdapat beberapa peraturan yang saling mengatur tentang kehalalan produk, seperti Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan, Undang-Undang No. 18 Tahun 2012 tentang Pangan, Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen dan lainnya.

 

“Maka Omnibus Law harus dilebur menjadi 1 scope Jaminan Produk Halal,” kata Ikhsan di Jakarta, Kamis (23/1).

Tags:

Berita Terkait