Hukum Belum Mampu Melindungi Kelompok Minoritas
Berita

Hukum Belum Mampu Melindungi Kelompok Minoritas

Malah lebih sering digunakan untuk merepresi.

Ady
Bacaan 2 Menit

Atas dasar itu Donny berpendapat negara hukum tidak dapat mengklaim bahwa setiap persoalan dapat diselesaikan lewat hukum. Pasalnya, proses penyelesaian sebuah kasus lewat proses hukum menimbulkan korban-korban yang saat ini belum diantisipasi.

Sejalan dengan itu, dalam sebuah negara hukum, Donny melanjutkan, harus membuka ruang bagi pembelaan diri secara non legal. “Cara ini penting untuk terus memperbaiki konsep-konsep hukum dan keadilan. Saya tidak percaya ada negara hukum yang final dan ada keadilan yang jelas untuk saat ini. Itu akan terus diperbaiki dan yang memperbaiki itu para korban,” kata dia dalam diskusi di Jakarta, Rabu (10/10).

Pada kesempatan yang sama, Direktur Tolerance Institute, Ahmad Asroni, mengatakan diskriminasi terhadap kelompok minoritas dapat dilihat dari berbagai peraturan perundang-undangan yang diterbitkan. Misalnya PBM No.9/2006 dan PBM No.8/2006. Dalam ketentuan yang mengatur soal pembangunan rumah ibadah itu dirasa tidak mengakomodir kepentingan kelompok agama minoritas. Namun, lebih mengakomodir kepentingan agama mayoritas.

Menurut Asroni, pemerintah berhak untuk mengatur berdirinya rumah ibadah, namun pengaturan itu mestinya tidak diskriminatif. Akibatnya, terjadi konflik yang menimbulkan pelanggaran HAM karena dipicu soal rumah ibadah. Misalnya, kasus gereja Yasmin di Bogor, Philadelphia di Bekasi dan lainnya. Asroni mengingatkan, bahwa mendirikan rumah ibadah adalah bagian dari implementasi kebebasan beragama dan hal itu dilindungi oleh konstitusi baik itu UUD 1945 atau pun konvensi internasional.

Untuk memberi keadilan dan perlindungan terhadap kelompok minoritas, Asroni berpendapat peraturan yang mengatur rumah ibadah harus direvisi atau dicabut. Baginya, dalam merumuskan peraturan tersebut, setiap agama harus dilibatkan. Sehingga, diharapkan dapat menghasilkan peraturan baru yang tidak diskriminatif. “Melibatkan semua kelompok (Agama),” ujarnya.

Sementara, Ketua Program Pascasarjana STF Driyarkara Jakarta, B Herry Priyono, mengatakan hukum yang ada di Indonesia belum mampu mewujudkan negara hukum. Menurutnya, perbaikan dan revisi terhadap peraturan perundang-undangan dan perangkat hukum lainnya yang ada harus terus menerus dilakukan.

Bagi Herry, negara ditata untuk membawa peradaban masyarakat menuju sebuah tatanan beradab. Sehingga, persoalan yang ada tidak diselesaikan dengan cara-cara represif, namun melalui proses dialogis. Untuk menuju hal itu, salah satu alat yang digunakan adalah lewat peraturan perundang-undangan.

Dalam rangka membangun negara yang beradab, maka negara tersebut harus siap pula menghadapi kondisi masyarakat yang masih “rimba” atau seringkali menggunakan tindak kekerasan. Itulah yang mendasari negara punya wewenang untuk memonopoli alat kekerasan lewat aparat kepolisian dan TNI. Sayangnya, dalam praktik aparat keamanan yang diberi wewenang tersebut sering melakukan penyelewengan.

Oleh karenanya, Herry berpendapat, tugas untuk membangun negara hukum tidak dapat dilakukan secara mutlak lewat aparatur negara. Namun, harus ada kelompok di dalam masyarakat yang bertindak sebagai penekan agar aparatur negara bertindak sesuai yang diharapkan.

Misalnya, ketika aparat kepolisian menyambangi KPK beberapa waktu lalu untuk menangkap penyidik KPK. Berbagai elemen masyarakat tampil memberi dukungan kepada KPK dan memberi tekanan terhadap aparat kepolisian serta lembaga negara lainnya. Bagi Herry, hal itu menunjukan peran penting kelompok penekan untuk menjaga agar negara hukum mampu mewujudkan cita-citanya.

Tags: