Hukuman Kebiri, Sebagai Penghukuman atau Rehabilitasi?
Berita

Hukuman Kebiri, Sebagai Penghukuman atau Rehabilitasi?

Mesti dilakukan kajian mendalam dari berbagai aspek untuk menentukan format dan bentuk hukuman kebiri bila benar-benar diterapkan di Indonesia.

CR19
Bacaan 2 Menit
Diskusi “Hukuman Kebiri Pelaku Kekerasan Seksual, Menambah atau Menyelesaikan Masalah?” di kampus UI, Depok. Foto: CR19
Diskusi “Hukuman Kebiri Pelaku Kekerasan Seksual, Menambah atau Menyelesaikan Masalah?” di kampus UI, Depok. Foto: CR19

Berangkat dari best practice di sejumlah negara yang menerapkan hukuman kebiri (kastrasi), membuat Indonesia mulai melirik sanksi hukuman ini sebagai efek jera terhadap pelaku kejahatan dan kekerasan seksual. Hal itulah yang mengemuka dalam suatu diskusi yang bertema: “Hukuman Kebiri Pelaku Kekerasan Seksual, Menambah atau Menyelesaikan Masalah?” yang digelar oleh Departemen Kriminologi FISIP UI, di Depok, Kamis (5/11).

Dalam diskusi itu turut hadir pula perwakilan dari sejumlah kementerian dan lembaga seperti Kementerian Sosial Republik Indonesia (Kemensos RI), Kementerian Permberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPP-PA), Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), beserta Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan).

Dalam diskusi, Asisten Deputi Penanganan Kekerasan Terhadap Anak KPP-PA, Agustina Erni, mengatakan bahwa sanksi berupa hukuman kebiri telah diberlakukan di sejumlah negara. Antara lain, Turki, Korea Selatan, Polandia, Moldova, Estonia, Israel, Argentina, Australia, Rusia, dan sejumlah negara bagian di Amerika Serikat.

Secara medis, kata Agustina, hukuman kastrasi memang dapat menurunkan dorongan seksual pada pelaku kejahatan seksual. Sebab, dalam kastrasi dilakukan tindakan berupa  bedah dan/atau menggunakan bahan kimia yang bertujuan menghilangkan fungsi testis pada laki-laki atau fungsi ovarium pada perempuan.

Meski dorongan seksual akan menurun drastis. Akan tetapi, lanjut Agustina, pengebirian juga dapat memungkinkan timbulnya perilaku yang lebih agresif. Hal itu disebabkan karena sejumlah faktor, seperti psikologis dan sosial, perasaan negatif seperti sakit hati, marah, dan dendam. Hal itu, kata Agustina, terbentuk ketika pelaku merasakan viktimisasi dalam dirinya.

Karenanya, Agustina memberikan alternatif lain terhadap hukuman bagi pelaku kejahatan dan kekerasan seksual. Menurutnya, terhadap para pelaku tersebut perlu diberikan sanksi atau hukuman yang maksimal. Selain itu, perlu dilakukan publikasi atau sosialisasi berupa daftar informasi yang berisi informasi pelaku kejahatan dan kekerasan seksual yang telah dihukum beserta riwayat kejahatan yang dilakukannya.

“Hal ini mengingatkan agar seluruh pihak (keluarga, orang tua, aparat penegak hukum, red) mewaspadai potensi terjadinya kekerasan seksual,” katanya.

Tags:

Berita Terkait