Pembahasan RUU KUHP masih berproses. Presiden Joko Widodo belum lama ini memerintahkan jajarannya untuk memberi pemahaman kepada masyarakat terhadap substansi RUU KUHP sekaligus menjaring masukan. Peneliti Indonesian Center for Environmental Law (ICEL), Marsya M Handayani menilai pengaturan hukum lingkungan hidup dalam RUU KUHP bermasalah.
Marsya menerangkan lingkungan hidup merupakan tindak pidana khusus yang harusnya tidak diatur dalam KUHP. Dalam naskah akademik juga tidak dijelaskan urgensi dimasukannya hukum lingkungan hidup dalam RUU KUHP. Proses pembahasan RUU KUHP selama ini juga dinilai minim partisipasi masyarakat. Padahal beleid itu nanti sebagai pedoman hukum pidana yang mengatur seluruh masyarakat.
Tindak pidana lingkungan hidup diatur dalam Pasal 344-345 RUU KUHP. Hanya 2 unsur pidana lingkungan hidup yang diatur RUU KUHP yakni pencemaran dan kerusakan yang dilakukan secara sengaja atau lalai. Ketentuan itu mengadopsi ketentuan yang diatur Pasal 98-99 UU No.32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Baca Juga:
- Catatan IJRS Atas Pengaturan Pidana Korporasi RUU KUHP
- Aliansi Nasional Reformasi KUHP Sampaikan 23 Isu Krusial RKUHP
Tapi Marsya melihat ada perbedaan antara ketentuan yang diatur dalam RUU KUHP dan UU No.32 Tahun 2009. Misalnya, Pasal 344 RUU KUHP mengatur setiap orang yang secara melawan hukum melakukan pencemaran atau perusakan lingkungan hidup dipidana paling lama 9 tahun penjara atau denda paling banyak kategori VI (Rp2 miliar). Sedangkan Pasal 98 UU No.32 Tahun 2009 mengatur setiap orang yang sengaja melakukan kerusakan lingkungan hidup dipenjara paling lama 10 tahun dan denda paling banyak Rp10 miliar.
Selain itu, baku mutu yang digunakan sebagai acuan untuk mengukur pencemaran atau perusakan lingkungan hidup dalam Pasal 344-345 tidak memberikan detail yang jelas. Hal itu berpotensi menyulitkan pembuktian. “Pengaturan pidana lingkungan hidup dalam RUU KUHP cenderung melemahkan (penegakan hukum lingkungan hidup, red) kata Marsya dalam diskusi bertajuk “Mampukah RUU KUHP Menjerat Korporasi Perusak Lingkungan?" yang diselenggarakan stasiun Radio di Jakarta secara daring, Selasa (9/8/2022).
Marsya membandingkan lemahnya ketentuan pidana lingkungan hidup dalam RUU KUHP ini serupa dengan pengaturan dalam UU No.23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. Dia memberi contoh kasus penegakan hukum pidana lingkungan hidup dengan menggunakan UU No.23 Tahun 1997 terkait pencemaran limbah B3 (tailing) di Teluk Buyat, Nusa Tenggara Timur (NTT). Perusahaan yang didakwa membuang limbah B3 itu berujung lepas dari jerat pidana karena dianggap sudah mengantongi izin pembuangan limbah.