ICEL Sampaikan 5 Hal untuk Efektivitas Penerapan Anti SLAPP
Terbaru

ICEL Sampaikan 5 Hal untuk Efektivitas Penerapan Anti SLAPP

Karena tujuan strategic lawsuit against public participation (SLAPP) untuk menghambat atau membungkam kebebasan berekspresi, berpendapat, dan partisipasi masyarakat.

Ady Thea DA
Bacaan 3 Menit

Di Indonesia, kata Dodo, anti SLAPP diatur dalam Pasal 66 UU No.32 Tahun 2009 yang meliputi ranah pidana dan perdata. Selain itu, Ketua MA juga menerbitkan pedoman perkara lingkungan hidup yang memuat ketentuan bagi hakim dalam menangani perkara lingkungan hidup yang disinyalir SLAPP. “Dalam proses peradilan kasus SLAPP harus dihentikan karena mengganggu perjuangan setiap orang untuk mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat,” ujarnya.

Dodo mencatat sejumlah kasus yang terindikasi SLAPP seperti yang dihadapi Sawin dan Sukma, warga Indramayu yang menolak PLTU Indramayu. Mereka dituduh menghina negara karena memasang bendera secara terbalik. Kemudian kasus Robandi dkk, warga kelurahan Kenanga, Kabupaten Bangka Belitung, yang dilaporkan pidana. Padahal Robandi dkk memperjuangkan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat dari ancaman pencemaran.

Tak hanya masyarakat biasa, ahli dan akademisi yang memberikan keterangan di persidangan juga tak luput dari SLAPP. Dodo menyebut beberapa kasus antara lain menjerat dosen IPB, Basuki Wasis, yang kala itu menjadi ahli KPK dalam kasus mantan Gubernur Sulawesi Tenggara, Nur Alam. Karena keterangan yang diberikan di persidangan itu Basuki digugat tim kuasa hukum Nur Alam.

Hal serupa juga menimpa Guru Besar IPB, Bambang Hero, yang digugat PT Jatim Jaya Perkasa setelah memberikan keterangan sebagai ahli di persidangan kasus pembakaran hutan. Walau pada akhirnya Dodo melihat dalam kasus Bambang Hero pihak perusahaan mencabut gugatan.

Mengingat kasus SLAPP sering terjadi di Indonesia, Dodo mendesak pemerintah untuk serius melindungi hak setiap orang yang memperjuangkan lingkungan hidup yang baik dan sehat sebagaimana mandat konstitusi. Dia mengusulkan pemerintah dan DPR setidaknya melakukan 3 hal. Pertama, menerbitkan peraturan yang lebih detail untuk pelaksanaan Pasal 66 UU No.32 Tahun 2009.

Kedua, pentingnya merevisi KUHAP karena praktiknya selama ini aparat sangat mudah menggunakan upaya paksa tanpa kontrol. Harusnya ada mekanisme yang ditangani oleh hakim pemeriksaan pendahuluan. Ketiga, perlu dikaji lebih lanjut apakah diperlukan UU khusus yang mengatur partisipasi publik atau anti SLAPP terutama bagi pembela lingkungan hidup dan HAM.

Keempat, dalam penyelesaian konflik lingkungan hidup, Dodo mengusulkan aparat untuk menggunakan upaya penegakan hukum yang bersifat represif sebagai opsi terakhir, bukan yang utama. Upaya hukum yang represif itu membuka peluang lebih besar terjadinya SLAPP. Kelima, transparansi proses perizinan karena ini merupakan salah satu penyebab utama terjadinya konflik di masyarakat.

“Setelah terbit UU No.11 Tahun 2020 banyak mekanisme yang tidak jelas dan perizinan diterbitkan secara cepat tanpa proses partisipasi publik yang bermakna. Misalnya kasus Sangihe, banyak masyarakat tidak mengetahui ada izin tambang disana,” kata Dodo.

Tags:

Berita Terkait