ICJR Khawatir RUU Larangan Minuman Beralkohol Timbulkan Over Kriminalisasi
Berita

ICJR Khawatir RUU Larangan Minuman Beralkohol Timbulkan Over Kriminalisasi

Anggota dewan mengingatkan, tujuan dibuatnya RUU ini untuk meminimalisir dampak negatif dari minuman beralkohol.

RFQ
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi dampak minuman beralkohol. Foto: RES
Ilustrasi dampak minuman beralkohol. Foto: RES
Rancangan Undang-Undang (RUU) Larangan Minuman Beralkohol (Minol) sudah mulai masuk pembahasan di tingkat Baleg sebelum masa reses DPR lalu. Namun bagi kalangan pemerhati, RUU tersebut berpotensi menimbulkan ancaman  kriminalisasi yang berlebihan (over criminalization). Demikian disampaikan Ketua Badan Pengurus Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Anggara Suwahju, di Jakarta, Jumat (7/8).

“Dengan melihat substansi dan  perumusannya, maka bisa dipastikan jika RUU ini disahkan akan menimbulkan ancaman kriminalisasi yang berlebihan (over criminalization),” ujarnya.

Anggara berpandangan, RUU Larangan Minol mengatur secara khusus tindak pidana alkohol. Malahan jika ditelisik mendalam, RUU tersebut mempersamakan alkohol seperti narkotika. Hal tersebut termaktub dalam ketentuan dalam Pasal 5 yang menyatakan,  “Melarang  menjual dan membeli minuman, mengedarkan minuman beralkohol baik secara langsung maupun tidak langsung; meminum minuman alkohol atau yang mengandung alkohol; menyimpan minuman baik secara sengaja ataupun tidak sengaja”.

Kebijakan kriminalisasi berlebihan dipastikan bakal membebani aparat penegak hukum dalam penerapan di lapangan. Tak saja polisi, jaksa penuntut umum, dan pengadilan, tetapi juga pihak Lembaga Pemasyarakatan (Lapas). Padahal penegak hukum masih terbebani dengan sejumlah perkara pidana lainnya.

“Memidanakan pembuat, pengedar, pembeli, penjual, peminum dan penyimpan minuman beralkohol jelas akan menambah permasalahan keempat aparat penegak hukum tersebut,” ujarnya.

Anggara mengatakan, ancaman pidana dalam RUU tersebut amatlah berlebihan bahkan terlampau dipaksakan. Ia beralasan RUU tersebut mengklasifikasikan golongan jenis alkohol. Terlebih, ancaman pidana tertinggi digunakan bagi mereka untuk menjual dan membelu minuman, mengedarkan minuman beralkohol dengan minimal ancaman hukuman 2 tahun. Sementara ancaman maksimal hukuman selama 10 tahun dengan denda sebesar Rp200 juta hingga Rp1 miliar sebagaimana tertuang dalam Pasal 11.

Menurutnya, ketimbang ancaman hukuman tersebut, instrumen pemidanaan dalam KUHP dalam tindak pidana alkohol masih dirasa relevan. Malahan lebih sesuai dengan konteks Indonesia. Sayangnya, ketentuan norma pasal KUHP jarang digunakan secara konsisten. Atas dasar itulah Anggara berharap DPR dan pemerintah memperhatikan asas pembentukan peraturan perundang-undangan sebagaimana diatur dalam UU No.12 Tahun 2011 tentang pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.

Ketua Komisi VIII DPR, Saleh Partaonan Daulay,  mempersilakan pandangan dan kritikan ICJR. Menurutnya, soal adanya over kriminalisasi merupakan masukan yang mesti menjadi bahan pertimbangan DPR. “Tujuan dari dibuatnya RUU Minol ini adalah meminimalisir dampak negatif dari Minol. Bagaimana pun juga dampak negatif Minol sudah diakui semua pihak,” ujarnya.

Politisi Partai Amanat Nasional itu berpandangan, mengatur peredaran Minol secara bebas sebagai upaya negara unutk mencegah masyarakat dari pengaruh alkohol dan narkotik. Pasalnya, dampak alkohol tak saja bagi keluarga, namun juga keberlangsungan generasi muda yang sehat. Makanya negara berupaya membuat aturan khusus terhadap dampak peredaran bebas alkohol di tengah masyarakat.

“Saya kira RUU ini juga diarahkan ke situ. Generasi muda harus dipastikan bebas dari kecanduan minol. Jika tidak, masa depan mereka bisa terancam,” katanya.

Saleh berpendapat terhadap pihak yang keberatan dengan pengaturan peredaran Minol dengan RUU tersebut dapat memberikan masukan ke DPR. Misalnya, pasal-pasal yang dinilai masih kurang tepat, masyarakat dapat memberikan kritikan dengan argumentasi yang rasional. Hal itu nantinya dapat dijadikan bahan masukan dari masyarakat oleh DPR.

“Dalam membuat UU, DPR dan pemerintah tentu harus mendegar masukan dari masyarakat.  Yang tidak boleh adalah berupaya membatalkan UU itu hanya karena alasan subyektif. Selama masukan konstruktif, saya kira pasti didengar,” pungkasnya.
Tags:

Berita Terkait