Ius Constitutum dan Ius Constituendum Pengaturan Aborsi di Indonesia
Utama

Ius Constitutum dan Ius Constituendum Pengaturan Aborsi di Indonesia

Rumusan pengaturan aborsi dalam RUU KUHP dinilai kaku dan berpotensi menyasar banyak orang, termasuk korban perkosaan. UU Kesehatan sudah mengatur pengecualian.

Muhammad Yasin
Bacaan 2 Menit

 

Ius Constituendum: RUU KUHP

Pemerintah dan DPR sudah membahas RUU KUHP, bahkan sudah menyepakati beberapa rumusan. Jika tak ada aral melintang, proses pembahasannya lancar, inilah yang akan menjadi KUHP Indonesia di masa mendatang.

 

Pasal mengenai aborsi termasuk yang dipertahankan dalam RUU ini. Pasal mengenai pengguguran kandungan disinggung dalam dua bab. Pertama, Bab XIV mengenai Tindak Pidana Kesusilaan, khususnya bagian keenam tentang pengobatan yang dapat mengakibatkan gugurnya kandungan (Pasal 501). Kedua, Bab XIX mengenai Tindak Pidana Terhadap Nyawa, khususnya bagian kedua tentang pengguguran kandungan (Pasal 589-591). Pasal 590 RUU KUHP menyebutkan “Setiap orang yang menggugurkan atau mematikan kandungan seorang perempuan dengan persetujuannya dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 tahun atau pidana denda paling banyak Kategori IV”. Jika tindak pidana itu menyebabkan meninggalnya si perempuan, maka pembuat tindak pidana diancam hukuman penjara 9 tahun. Perbedaan Pasal 590 RUU dengan Pasal 346 KUHP adalah pada lamanya ancaman pidana penjara, dan dikenalnya pidana denda.

 

(Baca juga: Legalitas Aborsi dan Hak Korban Pemerkosaan).

 

Rumusan aborsi dalam RUU KUHP telah dikritisi oleh sejumlah kalangan karena dianggap sangat ketat dan kaku. Pada 12 Desember lalu, misalnya, Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) dan Aliansi Nasional Reformasi KUHP, mengeluarkan pernyataan keras atas rumusan aborsi dalam RUU KUHP. “Kami meminta pasal-pasal itu harus mengacu pada UU Kesehatan. Jika tidak, selayaknya dihapuskan,” kata Supriyadi Widodo Eddyono, Direktur Eksekutif ICJR.

 

Kalangan tenaga kesehatan juga menaruh waswas. Sewaktu-waktu mereka bisa menjadi sasaran jika pengaturan aborsi tak tegas dan tak jelas. Meskipun dokter melakukan tindakan karena ada kedaruratan medis, tak ada jaminan aparat penegak hukum yang memproses hukum dokter tersebut. Penelusuran yang dilakukan Alinasi Nasional Reformasi KUHP menemukan paling tidak lima putusan pengadilan dalam periode 2012-2016 yang mengkriminalisasi tenaga kesehatan yang membantu proses aborsi. Misalnya, seorang dokter di Cilacap pernah dihukum 8 bulan penjara gara-gara melakukan tindakan aborsi terhadap seorang perempuan tanpa ada alasan kedaruratan medis. Di Serang, seorang dokter yang juga sarjana hukum divonis 1 tahun karena terbukti membantu melakukan aborsi terhadap seorang perempuan yang hamil di luar nikah. Sang dokter dinyatakan bersalah melanggar Pasal 349 KUHP.

 

Pasal 349 KUHP menyatakan jika seorang dokter, bidan, atau tukang obat membantu melakukan kejahatan yang disebut Pasal 346 KUHP atau melakukan atau membantu melakukan salah satu kejahatan yang disebut dalam Pasal 347-348, ancaman pidananya adalah yang disebut dalam masing-masing pasal tersebut ditambah sepertiganya. Bahkan hak tenaga kesehatan tersebut bisa dicabut. Ius constituendum rumusan ini terlihat dalam Pasal 591 RUU KUHP: “Dokter, bidan, apoteker, atau juru obat yang membantu melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 589 ayat (1), atau melakukan atau membantu melakukan salah satu tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 589 ayat (1) dan ayat (3) dan Pasal 590, pidananya dapat ditambah sepertiga dan dapat dijatuhi pidana tambahan berupa pencabutan hak”. Cuma, dalam Pasal 591 RUU KUHP sudah disebut bahwa petugas kesehatan tadi tidak dipidana jika tindakan aborsi dilakukan karena keadaan darurat.

 

Penting juga disebut, jika dihubungkan dengan UU No. 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran, ada kewajiban dokter untuk memberikan penjelasan kepada pasien antara lain tentang resiko dari tindakan medis yang akan dilakukan. Keharusan ini pada dasarnya berlaku juga dalam tindakan aborsi.

 

Dokter Sarsanto W. Sarwono, Pengurus Pusat PKBI, mengatakan UU Kesehatan adalah lex specialis terhadap KUHP. Artinya, aparat penegak hukum seharusnya memerhatikan UU Kesehatan ketika memproses tindakan aborsi. Konsekuensinya, polisi perlu melihat apakah perbuatan aborsi memenuhi syarat pengecualian yang diatur dalam UU Kesehatan. “UU Kesehatan itu lex specialis, sehingga harus menjadi rujukan,” ujarnya.

Tags:

Berita Terkait