Ius Constitutum dan Ius Constituendum Pengaturan Aborsi di Indonesia
Utama

Ius Constitutum dan Ius Constituendum Pengaturan Aborsi di Indonesia

Rumusan pengaturan aborsi dalam RUU KUHP dinilai kaku dan berpotensi menyasar banyak orang, termasuk korban perkosaan. UU Kesehatan sudah mengatur pengecualian.

Muhammad Yasin
Bacaan 2 Menit

 

Ius Constitutum: UU Kesehatan

Jawaban atas pertanyaan itu antara lain dapat dilihat dalam UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. Prinsip utama yang dianut UU Kesehatan sama dengan KUHP, bahwa aborsi itu dilarang. Penegasan larangan ini bisa dilihat dalam Pasal 75 ayat (1) UU Kesehatan. UU Kesehatan juga memberi hak kepada setiap orang menentukan sendiri kapan dan berapa sering ingin bereproduksi sehat secara medis serta tidak bertentangan dengan norma agama.

 

Berbeda dari KUHP, UU Kesehatan secara eksplisit mengatur kapan saatnya seseorang bisa melakukan aborsi tanpa khawatir terjerat hukum. Setidaknya ada dua pengecualian yang disebut. Pertama, ada indikasi kedaruratan medis yang dideteksi sejak usia dini kehamilan. Kedaruratan medis itu bisa berupa ancaman terhadap nyawa di si ibu dan/atau janin; bisa juga karena menderita penyakit genetik berat atau cacat bawaan, atau ada penyakit yang tak dapat diperbaiki sehingga menyulitkan bayi hidup di luar kandungan.

 

Alasan kedua yang dibenarkan adalah kehamilan akibat perkosaan yang dapat menyebabkan trauma psikologis bagi korban perkosaan. Dalam hal ini terjadi, maka perempuan korban perkosaan perlu melakukan konsultasi kepada konselor kompeten sebelum melakukan tindakan medis.

 

(Baca juga: Advokat Menilai Aborsi karena Perkosaan Sulit Diimplementasikan).

 

UU Kesehatan juga menjawab pertanyaan sejak kapan usia kandungan yang boleh digugurkan. Pasal 76 menegaskan aborsi hanya dapat dilakukan sebelum kehamilan berumur 6 minggu dihitung dari hari pertama haid terakhir, kecuali dalam hal kedaruratan medis. Selain itu, ditentukan bahwa aborsi hanya dapat dilakukan oleh tenaga kesehatan yang memiliki keterampilan dan kewenangan yang memiliki sertifikat; dengan persetujuan ibu hamil yang bersangkutan; atau dengan izin suami kecuali perempuan korban perkosaan.

 

Pengaturan lebih lanjut dimuat dalam Peraturan Pemerintah (PP) No. 61 Tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi. PP ini menegaskan dan menjabarkan indikasi kedaruratan medis dan kehamilan akibat perkosaan. Di level lebih teknis ada Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) No. 3 Tahun 2016 tentang Pelatihan dan Penyelenggaraan Pelayanan Aborsi atas Indikasi Kedaruratan Medis dan Kehamilan Akibat Perkosaan.

 

Indikasi Kedaruratan Medis

Kehamilan Akibat Perkosaan

  1. Kehamilan yang mengancam nyawa dan kesehatan ibu;
  2. Kehamilan yang mengancam nyawa dan kesehatan janin, termasuk yang menderita penyakit genetik berat dan/atau cacat bawaan, maupun yang tidak dapat diperbaiki sehingga menyulitkan bayi hidup di luar kandungan.
  • Merupakan kehamilan hasil hubungan seksual tanpa adanya persetujuan dari pihak perempuan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.
  • Usia kehamilan sesuai dengan waktu terjadinya perkosaan, dibuktikan dengan surat keterangan dokter.

 

Dalam Permenkes diatur persyaratan yang harus dipenuhi tim aborsi agar bisa melakukan tindakan penggguguran kandungan secara legal, termasuk sertifikasi. Yang diperbolehkan adalah mereka yang sudah pernah ikut pelatihan. Sertifikat diperoleh setelah ikut pelatihan. Sertifikat pelatihan berlaku selama lima tahun.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait