Kementerian Perdagangan (Kemendag) menerbitkan Peraturan Kementerian Perdagangan (Permendag) No.29 Tahun 2019 tentang Ketentuan Ekspor dan Impor Hewan dan Produk Hewan. Lahirnya Permendag 29/2019 ini sekaligus mencabut Permendag No 59/MDAG/PER/8/2016 tentang Ketentuan Ekspor dan Impor Hewan dan Produk Hewan.
Lahirnya Permendag itu mendapat reaksi dari Indonesia Halal Watch (IHW). Direktur Eksekutif IHW Ikhsan Abdullah berpendapat jika Permendag itu diterbitkan dalam rangka menjawab tuntutan ketentuan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) akibat kekalahan Indonesia pada sengketa perdagangan antara Brasil dan Indonesia.
Dalam Keputusan Panel Sengketa Perdagangan Nomor DS484 Badang Penyelesaian Sengketa WTO tertanggal 22 November 2017 lalu, secara ringkas memutuskan bahwa 18 kebijakan yang diterapkan pemerintah Indonesia dinilai tidak konsisten dengan aturan WTO yang berlaku.
Salah satu persoalan antara Brasil dan Indonesia adalah perihal perdagangan daging unggas terkait sertifikasi halal terhadap produk daging hewan unggas/ayam potong dari Brasil. Putusan itu pun kemudian berdampak pada hilangnya kewajiban sertifikasi halal sebagai prasyarat masuknya produk tersebut ke Indonesia.
Hasil putusan dari sengketa itu kemudian terjawab dalam Permendag 29/2019. Kemendag pun menghapus kewajiban sertifikasi halal seperti yang tercantum dalam Permendag 59/2016.
Permendag 59/2016 Pasal 16:
Permendag 29/2019 Pasal 21:
|
“Keputusan ini tentu sangat serius untuk dilakukan perundingan dengan negara pengimpor terutama Brazil dengan mengingat bahwa apabila Indonesia menjalankan keputusan WTO tersebut dengan sepenuhnya maka akan memicu masalah,” kata Ikhsan, Rabu (11/9).
(Baca: Bersertifikasi atau ‘Tersisih’ oleh Produk Halal Impor)
Setidaknya, lanjut Ikhsan, ada dua persoalan yang akan muncul jika putusan dari WTO itu sepenuhnya diterapkan di Indonesia. Pertama, pemerintah harus menghapus Pasal 4 UU No.33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal (UU JPH) yang mengatur mengenai kewajiban bersertifikasi halal. Saat ini, Indonesia tengah mempersiapkan masa kewajiban mandatori sertifikasi halal untuk semua produk, baik produk impor maupun produk lokal yang akan dimulai pada 17 Oktober 2019.
UU JPH Pasal 4: Produk yang masuk, beredar, dan diperdagangkan di wilayah Indonesia wajib bersertifikat halal. |
Kedua, putusan WTO tersebut melanggar hak-hak konsumen muslim, khususnya yang saat ini menurut data statistik berjumlah 220 juta jiwa. Bila diterapkan secara utuh, kata Ikhsan, maka Warga Negara Indonesia (WNI) tersebut tidak akan mendapatkan perlindungan negara untuk mendapatkan daging impor baik dari daging unggas maupun dari daging merah.
Karena sekalipun yang dipersoalkan adalah produk daging ayam-unggas dalam Sengketa Perdagangan Nomor DS484, akan tetapi Permendag 29/2019 tentu akan berimplikasi hukum bagi semua produk hewan dan turunannya.
“Permendag 29/2019 ini berpotensi untuk membuka pintu bagi semua produsen atau eksportir daging untuk diperlakukan sama, seperti halnya Brasil yang meminta penghapusan atas persyaratan label halal terutama dari negara-negara member WTO,” ujar Ikhsan.
Selain itu, Ikhsan menilai jika Permendag 29/2019 tidak sejalan dengan Peraturan Menteri Pertanian (Permentan) No.23 Tahun 2018 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Pertanian Nomor 34 Tahun 2016 tentang Pemasukan Karkas, Daging, Jeroan, dan/atau Olahannya ke Dalam Wilayah Negara Republik Indonesia dalam Pasal 7A yang mensyaratkan halal bagi produk yang dipersyaratkan.
Permentan 23/2018 Pasal 7A:
|
“Norma dalam Permendag 29/2019 itu seharusnya tidak layak untuk diundangkan mengingat melanggar ketentuan UU JPH juga bersinggungan dengan Peraturan Menteri yang sederajat. Indonesia adalah negara anggota WTO, namun sebagai negara berdaulat dan untuk kepentingan warga negaranya yang 87 persen adalah muslim, seharusnya Indonesia tidak tunduk dengan tekanan WTO apalagi untuk menghapuskan ketentuan halal bagi perdagangan daging unggas dan daging merah,” imbuhnya.
Atas dasar itu, Ikshan menyarankan agar Kemendag mencabut Permendag 29/2019 dan mengembalikan Pasal 7A huruf e dalam Permendag 59/2016 yang mensyaratkan kehalalan bagi impor unggas.
Sementara itu dilansir dalam situs resmi Kemendag, Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita menyatakan bahwa Kemendag telah memperbarui ketentuan impor ayam dan produk ayam menyesuaikan putusan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO). Perubahan ini mengikuti putusan panel sengketa DS 484 Badan Penyelesaian Sengketa (Dispute Settlement Body/DSB) WTO pada 22 November 2017 terkait gugatan Brasil atas ketentuan dan prosedur impor ayam yang diberlakukan Indonesia.
“Penyesuaian peraturan yang dilakukan tidak berarti memberikan preferensi perdagangan untuk ayam dan produk ayam dari Brasil. Meskipun WTO memutuskan Indonesia melakukan pelanggaran, tidak serta merta impor ayam dan produk ayam dari Brasil akan langsung terlaksana karena kasus sengketa DS 484 tengah memasuki tahap pemeriksaan oleh panel kepatuhan (compliance panel) WTO yang memakan waktu berbulan-bulan,” katanya.
Enggartiasto mengklaim jika perubahan regulasi ini diikuti penyesuaian aturan dengan cara mengharmonisasikan kepentingan nasional, kesehatan masyarakat, serta aturan yang telah disepakati oleh Indonesia di WTO. Kebijakan yang ditetapkan Indonesia bertujuan menjamin masyarakat Indonesia mendapat produk yang aman, sehat, dan halal.
“Oleh sebab itu, produk ayam impor yang masuk ke Indonesia tetap harus memenuhi standar kesehatan yang berlaku secara internasional serta standar halal yang berlaku di Indonesia. Selain itu, penting diketahui bahwa kebijakan halal Indonesia untuk produk ayam tidak pernah dinyatakan bersalah oleh panel sengketa WTO,” lanjutnya.
Sejak 2009, Brasil berupaya membuka akses pasar produk unggas ke Indonesia, khususnya ayam dan produk ayam. Namun, Brasil menganggap Indonesia memberlakukan ketentuan dan prosedur yang menghambat masuknya produk tersebut ke pasar Indonesia, sehingga Brasil menggugat Indonesia ke WTO pada 16 Oktober 2014.
Putusan panel sengketa DS 484 menyatakan empat kebijakan Indonesia melanggar aturan WTO, yakni kebijakan positive list, fixed license term, intended use, dan undue delay. Atas putusan tersebut, Indonesia berkewajiban melakukan penyesuaian kebijakan untuk mengakomodasi putusan WTO.