Industri Pembiayaan: Telaah Economic Analysis of Law 2021 dan 2022
Kolom

Industri Pembiayaan: Telaah Economic Analysis of Law 2021 dan 2022

Terdapat sejumlah kondisi lain yang turut mempengaruhi secara signifikan pada industri pembiayaan di tahun depan.

Bacaan 4 Menit
Industri Pembiayaan: Telaah Economic Analysis of Law 2021 dan 2022
Hukumonline

Sepanjang tahun 2021 industri pembiayaan masih terdampak pandemi Covid-19. Paling tidak jika mengacu pada Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) Nomor 48/POJK.03/2020 pemberlakuan restrukturisasi pembiayaan sehubungan Covid-19 masih akan terjadi hingga kuartal I-2022, mengingat dalam POJK tersebut dijelaskan bahwa restrukturisasi pembiayaan terdampak Covid-19 masih dilakukan setidaknya hingga 31 Maret 2022. Kondisi ini juga akan sangat bergantung pada penanganan varian Omicron dari Covid-19.

Jika penanganan Covid maupun varian Omicron gagal dibendung maka akan besar kemungkinan kebijakan restrukturisasi sebagaimana tertuang dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) Nomor 48/POJK.03/2020 diperpanjang kembali. Sebagaimana diketahui, POJK tersebut merupakan perpanjangan dari Peraturan OJK Nomor 11/POJK.03/2020.

Kebijakan restrukturisasi ini secara otomatis akan berpengaruh pada arus keuangan (cash flow) perusahaan pembiayaan itu sendiri. Sebaliknya, jika kondisi berkepanjangan maka akan berdampak pada tingginya angka kredit macet (non performing loan/NPL) pada industri pembiayaan itu sendiri.

Dalam perspektif economic analysis of law, industri pembiayaan akan sangat bergantung pada lancarnya pembiayaan. Sehingga, NPL yang tinggi akan sangat berdampak pada industri pembiayaan dan dalam operasionalnya akan sangat bergantung pada margin bunga antara bunga dari sumber pendanaan usaha pembiayaan dan bunga pembiayaan yang dibayarkan oleh nasabah pembiayaan itu sendiri.

Industri pembiayaan yang menggunakan sumber pendanaan (cost of fund/COF) berbiaya tinggi tentu akan sangat terdampak kebijakan restrukturisasi tersebut. Akibatnya, akan terjadi margin negatif, yakni pembayaran beban angsuran dan bunga pada kreditor lebih tinggi dibanding pemasukan dari nasabah hasil operasional usaha industri pembiayaan itu sendiri.

Kondisi lain yang turut mempengaruhi secara signifikan pada industri pembiayaan itu sendiri adalah beberapa putusan Mahkamah Konstitusi terkait uji materiil Pasal 15 ayat (2) Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia (UUJF). Masing-masing Putusan MK Nomor 18/PUU-XVII/2019, Nomor 2/PUU-XIX/2021 dan terakhir Nomor 57/PUU-XIX/2021 yang mempengaruhi eksekusi benda jaminan pembiayaan pada industri pembiayaan itu sendiri.

Dinamika 2022

Ketiga putusan Mahkamah Konstitusi (MK) dianggap mengubah roh dan norma dari lembaga jaminan fidusia itu sendiri. Pasalnya jika debitor tidak mengakui adanya cidera janji maka putusan cidera janji tersebut harus dilakukan dengan melalui pengadilan dan dalam kondisi demikian maka sifat parate eksekusi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 UUJF menjadi tidak berlaku.

Dapat dipahami bahwa putusan MK tersebut memberikan privilege bagi konsumen (debitor) dan putusan tersebut sangat mengacu pada mazhab perlindungan konsumen. Sehingga mengakibatkan kedudukan yang tidak seimbang dan pada akhirnya mengubah norma lembaga jaminan fidusia itu sendiri dari sifat jaminan khusus menjadi sifat jaminan umum demikian pula dengan kekuasaan eksekusi yang melekat pada kreditor dalam hal debitor cidera janji.

Kondisi ini akan berpotensi meningkatkan pembiayaan bermasalah (NPL) khususnya pembiayaan yang menggunakan jaminan fidusia sebagai jaminan pelunasan. Situasi ini juga akan berpengaruh secara signifikan pada tingkat recovery dan remedial pada pembiayaan bermasalah. Tahun 2022 dapat diprediksi bahwa industri pembiayaan masih belum akan pulih sepenuhnya bahkan jika industri pembiayaan menginginkan adanya pertumbuhan portofolio maka industri pembiayaan perlu mengubah model bisnisnya.

Hal terpenting lainnya adalah kehati-hatian dalam memberi persetujuan pembiayaan sehingga jika di saat yang sama industri pembiayaan dituntut tumbuh maka industri pembiayaan harus mengubah model bisnis dan memperkuat aspek legalitas. Jaminan fidusia harus diperkuat dengan jaminan atau dokumen hukum lainnya serta profil pembiayaan harus diarahkan pada profil nasabah yang memiliki collectability (status kredit) yang baik dan tidak memiliki risiko NPL. Kondisi inilah yang sekaligus menjadi tantangan industri pembiayaan di tahun 2022.

Berikutnya yang menjadi catatan penting bagi industri pembiayaan di tahun 2022 adalah manajemen terkait arus kas (cash flow). Stanley (2006), menjelaskan manajemen cash flow merupakan bagian penting dari pengembangan industri pembiayaan itu sendiri. Dalam hal ini maka tantangan lainnya adalah mendapatkan cost of fund (CoF) yang kompetitif dengan bunga yang rendah sehingga dampaknya industri pembiayaan akan dapat menawarkan paket pembiayaan yang kompetitif pada nasabah pembiayaan.

King Jr (2009), menjelaskan bahwa pareto dalam industri pembiayaan adalah manajemen cost of fund (CoF). CoF yang kompetitif akan menyehatkan keuangan perusahaan pembiayaan itu sendiri sekaligus paket pembiayaan yang kompetitif akan menghindarkan nasabah dari pembiayaan macet (NPL).

Jika kondisi tersebut dapat diwujudkan maka setidaknya mengurangi permasalahan yang bersumber pada keuangan perusahaan pembiayaan itu sendiri. Sebaliknya, jika CoF perusahaan pembiayaan tidak kompetitif, maka selain akan memberi beban keuangan perusahaan pembiayaan juga akan menciptakan potensi pembiayaan bermasalah bagi nasabah.

Tantangan industri pembiayaan lainnya pada tahun 2022 khususnya pada perusahaan pembiayaan yang tidak atau belum mendapatkan COF yang kompetitif adalah melakukan restrukturisasi sumber pembiayaan dari kreditor perusahaan pembiayaan tersebut. Restrukturisasi dapat dilakukan baik secara bilateral maupun melalui jalan penundaan kewajiban pembayaran utang (PKPU) melalui pengadilan niaga.

Demikian juga akhir tahun ini MK juga memberikan solusi bagi industri pembiayaan yang terancam pailit melalui PKPU. Melalui Putusan MK Nomor 23/PUU-XIX/2021 disebutkan bahwa terhadap putusan pailit yang berawal dari permohonan PKPU yang diajukan kreditor dapat diajukan upaya hukum kasasi. Artinya jika perusahaan pembiayaan dalam hal ini sebagai debitor dan terancam pailit maka masih ada upaya hukum untuk menyelamatkan diri berdasarkan Putusan MK Nomor 23/PUU-XIX/2021 yang diputuskan beberapa hari lalu.

Sebaliknya, jika perusahaan pembiayaan dalam hal ini sebagai kreditor maka Putusan MK Nomor 23/PUU-XIX/2021 tentang uji materiil Pasal 235 ayat (1) dan 293 ayat (1) Undang-Undang nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (UUKPKPU) dapat menjadi ancaman tersendiri karena penyelesaian persoalan dengan debitor bermasalah yang diselesaikan melalui jalur Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang berpotensi menjadi lebih lama karena memungkinkan upaya hukum kasasi ke Mahkamah Agung (MA) atas putusan pengadilan niaga yang semula tidak dapat dilakukan upaya hukum kasasi.

Hal ini menjadi tantangan bagi industri pembiayaan. Selain mendapatkan COF yang kompetitif maka manajemen keuangan dan keputusan penyelesaian sengketa, utamanya utang-piutang menjadi bagian penting dalam industri pembiayaan untuk bersaing di tahun 2022.

*)Dr. Rio Christiawan,S.H.,M.Hum.,M.Kn., Associate Profesor, Pakar Corporate and Financing Law, International Business Law Program, Universitas Prasetiya Mulya.

Catatan Redaksi:

Artikel Kolom ini adalah tulisan pribadi Penulis, isinya tidak mewakili pandangan Redaksi Hukumonline. Artikel ini merupakan kerja sama Hukumonline dengan Universitas Prasetiya Mulya dalam program Hukumonline University Solution.

Tags:

Berita Terkait