Ini 35 Kebijakan Baru OJK Untuk Stimulus Perekonomian
Berita

Ini 35 Kebijakan Baru OJK Untuk Stimulus Perekonomian

Tujuannya agar perekonomian nasional bisa berjalan lebih cepat dan stabil.

FAT
Bacaan 2 Menit
Ketua DK OJK, Muliaman D. Hadad. Foto: RES
Ketua DK OJK, Muliaman D. Hadad. Foto: RES

[Versi Bahasa Inggris]

Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengeluarkan 35 kebijakan baru untuk menstimulus perekonomian Indonesia. Seluruh kebijakan tersebut tersebar di empat sektor yang masuk dalam pengawasan OJK. Ketua Dewan Komisioner OJK Muliaman D Hadad mengatakan, kebijakan-kebijakan ini dikeluarkan untuk mendukung perekonomian nasional.

“Agar industri keuangan sebagai lokomotif bisa menarik rangkaian gerbong perekonomian nasional berjalan lebih cepat dan stabil guna meningkatkan kesejahteraan rakyat,” kata Muliaman dalam siaran persnya akhir pekan lalu.

Ia yakin, kebijakan ini mampu menjaga pertumbuhan kredit perbankan, pertumbuhan pasar modal dan perkembangan industri keuangan non bank (IKNB). Sehingga, nantinya dapat mendorong pertumbuhan ekonomi untuk tetap tumbuh sesuai yang ditargetkan. Dari 35 kebijakan tersebut, 12 regulasi berasal dari sektor perbankan.

Sebanyak 15 kebijakan di sektor pasar modal. Empat kebijakan di sektor IKNB dan empat kebijakan di bidang Edukasi dan Perlindungan Konsumen (EPK). Beberapa kebijakan tersebut ada yang bersifat temporer selama dua tahun dengan melihat perkembangan kondisi perekonomian mendatang. Berikut rincian 35 kebijakan baru OJK tersebut.

A. Sektor Perbankan

  1. Tagihan atau kredit yang dijamin oleh Pemerintah Pusat dikenakan bobot risiko  sebesar 0 (nol) persen dalam perhitungan Aset Tertimbang Menurut Risiko (ATMR) untuk risiko kredit;
  2. Bobot risiko untuk Kredit Kendaraan Bermotor (KKB) ditetapkan sebesar 75% dalam perhitungan ATMR untuk risiko kredit;
  3. Penerapan penilaian Prospek Usaha sebagai salah satu persyaratan restrukturisasi kredit tanpa mempertimbangkan kondisi pasar maupun industri dari  sektor usaha debitur;
  4. Pelaksanaan restrukturisasi kredit sebelum terjadinya penurunan kualitas kredit;
  5. Penurunan bobot risiko kredit beragun rumah tinggal non program pemerintah ditetapkan sebesar 35%, tanpa mempertimbangkan nilaiLoan To Value (LTV) dalam perhitungan ATMR untuk risiko kredit;
  6. Penurunan bobot risiko KPR Rumah Sehat Sejahtera (RSS) dalam rangka program Pemerintah Pusat Republik ditetapkan sebesar 20%, tanpa mempertimbangkan nilai Loan To Value (LTV) dalam perhitungan ATMR untuk risiko kredit;
  7. Penurunan bobot risiko Kredit Usaha Rakyat (KUR) yang dijamin oleh Jamkrida dapat dikenakan bobot risiko sebesar 50%;
  8. Penilaian kualitas kredit kepada 1 (satu) debitur atau 1 (satu) proyek hanya berdasarkan ketepatan pembayaran pokok dan/atau bunga dinaikkan dari paling tinggi Rp 1 milyar menjadi paling tinggi Rp 5 milyar hanya didasarkan atas ketepatan pembayaran pokok dan atau/ bunga;
  9. Penilaian kualitas kredit kepada UMKM dengan jumlah lebih dari Rp 5 milyar yang dikaitkan dengan peringkat penilaian Kualitas Penerapan Manajemen Risiko (KPMR) dan Peringkat Komposit Tingkat Kesehatan bank;
  10. Penetapan kualitas kredit setelah dilakukan restrukturisasi;
  11. Penetapan kualitas kredit setelah dilakukan restrukturisasi dengan tenggat waktu pembayaran (grace period) pokok, selama masa grace period;
  12. Persyaratan Peringkat Komposit Tingkat Kesehatan bagi bank yang melakukan penyertaan modal dalam rangka:
  • Pendirian perusahaan yang akan mengambil alih aset kredit bermasalah dari bank yang sama sepanjang kepemilikan bank maksimum 20% (dua puluh persen) dan tidak menjadi pengendali; atau
  • Tambahan penyertaan untuk penyelamatan perusahaan anak berupa bank. 
B. Sektor Pasar Modal
  1. Pengembangan Infrastruktur Pasar Repurchase Agreement (REPO), mencakup pengaturan mengenai Repo, pengembangan produk Repo, serta layanan settlement transaksi REPO yang dilengkapi monitoring dan konsep 3rd party Repo;
  2. Pengembangan UKM untuk Go Public, mencakup penyusunan ketentuan untuk pengembangan UKM, serta Pembuatan papan khusus untuk UKM;
  3. Penetapan Electronic Trading Platform (ETP), mencakup pengembangan trading platform surat utang terintegrasi yang digunakan oleh pelaku dan dimanfaatkan untuk kebutuhan pengawasan;
  4. Penggunaan Bank Sentral untuk Penyelesaian Transaksi, mencakup implementasi penggunaan Bank Sentral selain pengunaan Bank Pembayaran untuk layanan jasa penyelesaian dana di pasar modal;
  5. Rencana penerbitan produk derivatif Indonesia Government Bond Futures (IGBF), dalam rangka pengembangan Pasar Surat Berharga Negara (SBN);
  6. Pengembangan Obligasi Daerah dalam rangka mendukung program pemerintah terkait pembangunan infrastruktur;
  7. Penggunaan Bond Index Surat Utang sebagai indikator acuan di pasar surat utang Indonesia yang digunakan secara luas oleh pelaku pasar;
  8. Perluasan produk investasi di Pasar Modal melalui Penerbitan Efek Beragun Aset Surat Partisipasi (EBA-SP), untuk meningkatkan pertumbuhan pembiayaan perumahan di Indonesia serta membantu Lembaga Jasa Keuangan dalam memperoleh likuiditas dari pasar modal sebagai sumber pembiayaan yang terjangkau bagi masyarakat menengah dan kecil;
  9. Peraturan Segmentasi Perizinan Wakil Perantara Pedagang Efek (WPPE) yang meliputi 3 (tiga) tingkatan, yaitu WPPE, WPPE khusus pemasaran, dan WPPE khusus agen pemasaran;
  10. Peraturan Tentang Sistem Pengelolaan Investasi Terpadu, dalam rangka mengoptimalisasi dan melakukan efisiensi atas proses transaksi dan operasional di dalam industri pengelolaan investasi;
  11. Penerapan Extensible Business Reporting Language (XBRL) dalam rangka penyediaan informasi yang akurat dan dapat diandalkan;
  12. Peningkatan BUMN dan anak BUMN yang Go Public, dalam rangka membantu BUMN dalam penggalangan dana untuk kegiatan pengembangan usaha, sekaligus mendorong likuiditas pasar
Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait