Terkait hal itu, Wakil Ketua Sekolah Tinggi Ilmu Hukum Jentera, Bivitri Susanti, mengatakan setidaknya terdapat tiga cara untuk menghentikan RUU KPK di parlemen. Menurutnya, dengan menghentikan RUU KPK bakal terdapat kepastian legislasi. Ketimbang terjadi polemik di publik terkait perdebatan penguatan dan pelemahan KPK, Bibip –sapaan Bivitri Susanti- ini menilai rencana merevisi UU KPK sebaiknya dihentikan. Pasalnya, belum ada kebutuhan masyarakat untuk melakukan revisi UU KPK.
Cara pertama, ketika RUU KPK diboyong ke dalam rapat paripurna, maka fraksi-fraksi yang ada mesti menolak RUU KPK. Sebagiamana diketahui, Fraksi Gerindra sudah menyatakan sikapnya sedari awal menolak tegas RUU KPK. Belakangan, Demokrat melakukan hal sama setelah Ketua Umumnya Susilo Bambang Yudhyono ‘turun gunung’. Mantan Presiden itu melakukan jejak pendapat dan menemui para netizen.
Meski demikian, Demokrat mestinya tak saja bermain di luar parlemen, tapi mesti menuangkan penolakannya tersebut dengan pandangan fraksinya di paripurna. Begitu pula dengan PKS. Dengan banyaknya fraksi yang menolak maka tak dapat dijadikan RUU KPK sebagai inisiatif DPR.
Bibip berpendapat melihat dari reaksi dan aspirasi masyarakat luas, RUU KPK memang sebaiknya dihentikan, bukan ditunda. “Ini penting jangand itunda, karena akan jadi barter. Jadi lebih baik dikatakan penolakan fraksi di dalam paripurna,” ujarnya dalam diskusi yang diselenggarakn Ikatan Alumni Fakultas Hukum Universitas Indonesia (ILUNI FHUI), di Daniel S Lev Law Library, Senin (22/2).
Kedua, bila rapat paripurna mayoritas fraksi memberikan persetujuan dan menjadikan RUU KPK sebagai usul inisiatif DPR, proses selanjutnya dari pihak pemerintah. Ya, presiden bakal menerbitkan Surat Presiden (Surpres) dengan menunjuk menteri terkait yakni Menkumham untuk mewakili pemerintah dalam pembahasan.
Cara menghentikannya adalah dengan Presiden Joko Widodo menarik diri dengan tidak mengirimkan Surpres. Berdasarkan ketentuan peraturan perundangan, pembahasan RUU dilakukan antara DPR dengan presiden dalam hal ini diwakili oleh ‘pembantunya’ yakni menteri terkait. “Kalau tidak ditanggapi presiden, maka tidak bisa dibahas, dan aturan ini konstitusional,” ujarnya.
Ketiga, cara lainnya yang dapat ditempuh sepanjang ada kemauan dari DPR dan pemerintah maka RUU KPK mesti dikeluarkan dari Program Legislasi Nasional (Prolegnas) prioritas. Prolegnas prioritas tahunan ditempuh setelah mendapatkan persetujuan dari kedua belah pihak antara DPR dan pemerintah. Nah tiap tahunnya DPR dan pemerintah membuat daftar Prolegnas prioritas. Ketika membuat daftar Prolegnas itulah RUU KPK mesti diturunkan dari daftar Prolegnas lima tahunan atau jangka panjang.
Kendati demikian, mantan Direktur Eksekutif Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) itu menampik anti terhadap revisi UU KPK. Malahan publik tak boleh mensakralkan UU KPK seperti halnya kitab suci. Hanya saja, rencana merevisi UU KPK oleh parlemen terlampau cepat. Apalagi proses konsultasi dengan meminta pandangan dari berbagai ahli hukum belum dilakukan sepenuhnya.
Idealnya, RUU KPK dikeluarkan dari Prolegnas prioritas. Kemudian dilakukan kajian mendalam terhadap rencana revisi di kalangan akademisi dan pakar hukum. Setelah mendapatkan masukan dari berbagai kalangan akademisi dan masyarakat, serta telahm menyiapkan naskah akademik dan darf RUU secara komprehensif, maka RUU KPK dapat kembali lagi dimasukan dalam Prolegnas, sepanjang memang adanya kebutuhan dari masyarakat.
“Apakah kita anti? kita tidak anti Revisi UU KPK. Tidak boleh mensakralkan UU KPK,” pungkasnya.