Ini ‘Rahasia’ ABNR Tetap Langgeng di Usia 48 Tahun
Berita

Ini ‘Rahasia’ ABNR Tetap Langgeng di Usia 48 Tahun

ABNR tidak pernah membeda-bedakan partner berdasarkan kontribusinya. Setiap partner memiliki hak suara yang sama.

RIA
Bacaan 2 Menit
Mardjono Reksodiputro. Foto: RES
Mardjono Reksodiputro. Foto: RES
Beberapa tahun lalu, sebuah firma hukum (law firm) ternama di Jakarta, Soewito, Soehardiman, Eddymurthy, dan Kardono mengalami perpecahan. Dua dari empat Partner senior mereka memutuskan keluar. Jauh sebelum itu, dua advokat senior yang awalnya bermitra dalam Karim Sani, Arsul Sani dan Iswahjudi Karim pecah kongsi. Sempat diwarnai dengan aksi saling gugat di pengadilan, Arsul dan Iswahjudi kini telah memiliki law firm sendiri-sendiri.

Dua contoh kejadian di atas menunjukkan bahwa soliditas memang menjadi masalah yang tidak ringan bagi sebuah law firm. Lalu, bagaimana caranya agar law firm solid atau langgeng?

Advokat senior yang juga pendiri Ali Budiardjo, Nugroho, Reksodiputro (ABNR), Prof Mardjono Reksodiputro berkenan berbagi kiat tentang bagaimana caranya agar law firm tetap langgeng. Kiat ini disarikan dari pengalaman Mardjono bersama beberapa koleganya dalam mengelola ABNR yang tahun 2015 ini berusia 48 tahun.

Berdiri pada tahun 1967, ABNR memang tercatat sebagai salah satu law firm modern tertua di Indonesia. Meskipun berhasil mencapai usia 48 tahun, dikatakan Mardjono, ABNR pun sempat dilanda gejolak.

“Ya gejolak tetap ada, apalagi saat awal-awal,” ucapnya dalam sesi wawancara ekslusif dengan hukumonline, 10 September 2015 lalu.

Mardjono menyebut setidaknya tiga hal yang dilakukan ABNR sehingga law firm yang berkantor di kawasan Sudirman, Jakarta itu tetap langgeng hingga sekarang. Berikut rinciannya:

1. Manajemen Keuangan Jelas
ABNR, kata Mardjono, memiliki formula ‘khusus’ untuk mengatur keuangan. Prinsipnya, berapapun kontribusi yang diberikan masing-masing partner kepada kantor, mereka akan mendapatkan bagian yang proporsional.

“Tidak seperti dokter yang membuka praktik bersama dan dana pengelolaan kantornya dibagi rata,” katanya membandingkan.

Untuk menggambarkan pengaturan keuangan di ABNR, Mardjono mencontohkan jika dana pengelolaan kantor sebesar 300, lalu terdapat tiga partner dengan penghasilan partner A 1000, B 500, dan C 50. Maka, penghasilan tiga partner itu digabung terlebih dahulu, lalu dipotong dana pengelolaan, dan sisanya dibagi untuk ketiga partner secara proporsional.

“Jadi, 1550 dikurang 300 menjadi 1250. Nah, baru 1250 dibagi. Cara baginya perbandingan aja, 1000:500:50,” ia menjelaskan.

Bagi beberapa kantor, pengaturan keuangan di atas bisa jadi malah merupakan sumber masalah besar karena akan ada partner yang mungkin tidak suka. Menurut Mardjono, Mereka yang mendapatkan pemasukan lebih besar kemungkinan akan berpikir, kenapa harus memberi kontribusi lebih besar untuk pengelolaan.

“Kita juga kehilangan beberapa partner karena masalah begitu, tapi kita demokratis. Dari semula kita mengatakan, ‘begini cara kita. Kalau anda mau jadi partner, silakan. Kalau nggak ya terserah’,” ujarnya.

2. Suasana Demokratis di Kantor
Ditegaskan Mardjono, ABNR sejak awal berdiri telah ditanamkan nilai-nilai demokratis, khususnya oleh Ali Budiardjo, salah seorang Pendiri ABNR. Menurutnya, ABNR tidak pernah membeda-bedakan partner berdasarkan kontribusinya. Setiap partner memiliki hak suara yang sama.

“Dalam rapat serikat pun antara junior dan senior interaksinya biasa aja, nggak masalah. Di ABNR, yang (advokat) asing juga ikut duduk. Jadi memang suasana demokrasinya itu yang sudah menjadi budaya,” ujar Mardjono.

3. Kekayaan Pribadi dan Kekayaan Kantor Dipisah
Mardjono mengatakan ABNR tidak mengenal harta bersama di kalangan para partner. Sebagai contoh, kantor ABNR yang sekarang statusnya masih sewa. Awalnya, kata Mardjono, ABNR sempat terpikir ingin membeli kantor, tetapi urung dilakukan.

“Saat akan memindahkan kantor dari Gatot Subroto ke CIMB (Sudirman) yang waktu itu masih kerangka, kita pikirkan, mau lantai berapa. Kita pernah ditawarkan, mau beli atau mau sewa? Lalu kita rapat. Kita putuskan waktu itu untuk menyewa,” paparnya.

ABNR memutuskan untuk menyewa kantor, karena kalau membeli dan kemudian terjadi perpecahan, akan sulit pengaturan pembagiannya. “Itu pertanyaannya. Bagaimana kita bisa bagi karena ini kan milik kami berlima. Maka kemudian kita putuskan nggak usah (beli) deh,” lanjutnya.

Saat ini, kata Mardjono, harta yang dimiliki ABNR hanyalah barang-barang seperti komputer, meja, kursi, interior, dan keperluan harian lainnya. “Tidak ada yang berharga, sehingga kalau ada orang yang mengundurkan diri, ya silakan karena tidak ada uang dia dalam bentuk aset,” pungkasnya.
Tags:

Berita Terkait