Ini Tanggapan Pakar Hukum Tata Negara Soal Wacana Amandemen UUD 1945
Pojok PERADI

Ini Tanggapan Pakar Hukum Tata Negara Soal Wacana Amandemen UUD 1945

Fahri Bachmid berpendapat, proses amandemen terhadap UUD 1945 membutuhkan sikap kehati-hatian yang tinggi.

Tim Publikasi Hukumonline
Bacaan 3 Menit

 

“Itulah keniscayaan konstitusional yang dapat dilakukan dengan instrumen amandemen kelima UUD 1945,” Fahri menambahkan.

 

Perlu Kehati-hatian

Fahri Bachmid berpendapat, proses amandemen terhadap UUD 1945 membutuhkan sikap kehati-hatian yang tinggi. Bagaimanapun, materi perubahan berpotensi membuka ‘kotak pandora’ dan menyasar ke banyak—termasuk isu-isu yang telah selesai, seperti masa jabatan presiden.

 

“Sesungguhnya yang paling esensial dalam amandemen ini adalah terkait dengan isu organ konstitusional, seperti MPR diatribusikan dengan kewenangan mengatasi keadaan darurat negara; kemudian penguatan DPD RI serta perlu diadopsinya pengaturan terkait PPHN sebagai dokumen otoritatif arah berbangsa dan bernegara. Selebihnya, agar tetap fokus, harus dibatasi secara tegas,” ujar Fahri.

 

Adapun hendaknya amandemen konstitusi (UUD 1945) tidak dilakukan oleh anggota MPR yang ada saat ini. Kalaupun ingin dilakukan, harus dengan MPR hasil pemilu 2024 agar tingkat legitimasi politiknya lebih tinggi. Di sisi lain, proses perubahan juga dapat dilakukan dalam keadaan tenang dan kondusif, agar pandangan serta pikiran-pikiran konstitusionalisme benar-benar muncul tanpa ada agenda jangka pendek.

 

“Amandemen juga pragmatis. Harus ideal dengan memandang bahwa kebutuhan perubahan (amandemen) UUD 1945 bertujuan untuk bernegara dalam jangka waktu yang panjang,” tutup Fahri Bachmid.

 

Artikel ini merupakan kerja sama Hukumonline dengan Dewan Pimpinan Nasional Perhimpunan Advokat Indonesia (DPN Peradi).

Tags:

Berita Terkait