Inilah Penjelasan tentang Pidana yang Menjerat BW
Berita

Inilah Penjelasan tentang Pidana yang Menjerat BW

Pasal ini masuk lingkup tindak pidana berkaitan dengan tugas peradilan. Pengacara sebagai subjek tindak pidana sumpah palsu bisa timbulkan masalah.

MYS
Bacaan 2 Menit
Buku KUHP karya R. Soesilo, seorang berlatar belakang polisi. Bambang Widjojanto dituduh polisi melanggar Pasal 242 juncto Pasal 55 KUHP. Foto: SGP
Buku KUHP karya R. Soesilo, seorang berlatar belakang polisi. Bambang Widjojanto dituduh polisi melanggar Pasal 242 juncto Pasal 55 KUHP. Foto: SGP
Kepala Divisi Humas Mabes Polri, Ronny F. Sompie, mengatakan polisi menggunakan Pasal 242 jo Pasal 55 KUHP untuk menjerat Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto (BW). Ancaman pasal ini maksimal 7 tahun penjara, sehingga bisa digunakan untuk menahan seorang tersangka. Pasal 55 KUHP adalah aturan penyertaan.

Pasal 242 KUHP terdiri dari empat ayat. Ayat (1) menyebutkan Barangsiapa dalam keadaan di mana undang-undang menentukan supaya memberi keterangan di atas sumpah atau mengadakan akibat hukum kepada keterangan yang demikian, dengan sengaja memberi keterangan palsu di atas sumpah, baik dengan lisan atau tulisan, secara pribadi atau oleh kuasanya yang khusus ditunjuk untuk itu, diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun’.

Ayat (2) menentukan jika keterangan palsu di atas sumpah diberikan dalam perkara pidana dan merugikan terdakwa atau tersangka, yang bersalah diancam dengan pidana penjara maksimal 9 tahun. Ayat (3) menyebutkan disamakan dengan sumpah adalah janji atau penguatan yang diharuskan menurut aturan-aturan umum atau yang menjadi pengganti sumpah. Ayat (4) menambahkan pidana pencabutan hak berdasarkan Pasal 35 No. 1-4 KUHP dapat dijatuhkan.

Apa sebenarnya penjelasan Pasal 242 KUHP itu? Doktrin dan yurisprudensi yang berkembang selama ini mungkin bisa memberikan sedikit penjelasan.

KUHP yang ditulis R. Soesilo, seorang berlatar belakang polisi, menyatakan bahwa sejak dulu memberi keterangan palsu telah dipandang sebagai ‘kejahatan yang amat buruk’. Namun agar dapat dihukum, pembuat harus mengetahui bahwa ia memberi suatu keterangan yang bertentangan dengan kenyataan dan ia memberikan keterangan palsu itu di atas sumpah.

Jika pelaku tidak tahu pasti apakah keterangan itu benar atau salah, dan ternyata kemudian keterangan itu tidak benar, maka ia tidak dapat dihukum. Menurut Soesilo, supaya pelaku dapat dihukum, harus dipenuhi tiga unsur, yaitu (i) keterangan itu harus di atas sumpah; (ii) keterangan itu harus diwajibkan menurut undang-undang atau menurut peraturan yang menentukan akibat hukum pada keterangan itu; dan (iii) keterangan itu harus palsu atau tidak benar dan kepalsuan itu diketahui oleh pemberi keterangan.

S.R. Sianturi dalam bukunya Tindak Pidana di KUHP Berikut Uraiannya berpendapat titik berat penerapan Pasal 242 KUHP adalah kepalsuan yang dikuatkan dengan sumpah, terlebih lagi karena sumpah tersebut diwajibkan oleh suatu peraturan perundang-undangan. Dalam tindak pidana sumpah palsu, intinya adalah seseorang memberikan keterangan palsu di atas sumpah (ia bersumpah lebih dahulu baru memberikan keterangan palsu), atau di bawah sumpah (ia memberi keterangan lebih dahulu baru dikuatkan dengan sumpah).

Kuasa hukum sebagai subjek?
Tuduhan terhadap Bambang Widjojanto berkaitan dengan posisinya sebagai kuasa hukum atau pengacara dari salah satu pasangan kandidat kepala daerah di Kotawaringin Barat Kalimantan Tengah. Sebenarnya BW hanya satu dari empat orang kuasa hukum yang bersidang di Mahkamah Konstitusi kala itu.

Pasal 242 ayat (1) menyinggung tentang kemungkinan memberi keterangan palsu oleh ‘kuasa khusus yang ditunjuk untuk itu’. SR. Sianturi memberi catatan khusus tentang masalah ini ketika membahas tentang subjek Pasal 242 KUHP. Subjek pasal ini adalah barangsiapa, tetapi kemudian muncul frasa ‘oleh kuasa khusus’. Menurut Sianturi, ini dapat menimbulkan persoalan: mungkinkah kuasa khusus tersebut dikualifikasikan sebagai subjek?

Sianturi berpendapat, jika kuasa khusus tersebut mempunyai pengetahuan atau kesadaran yang sama dengan subjek tentang kepalsuan keterangan tersebut, maka penerima kuasa khusus dapat dikualifikasi sebagai subjek. Dengan alur semacam ini, maka subjek lain seperti ahli, saksi verbalisan, atau jurubahasa bisa dikualifikasi. Tetapi Sianturi menggarisbawahi bahwa tuduhan telah memberikan keterangan secara lisan dan tertulis oleh kuasa khusus itu harus terbukti, dan keterangan itu sudah sampai kepada yang berkepentingan.

Kini, tugas polisi untuk membuktikan apakah BW selaku penerima kuasa khusus benar-benar pernah mengeluarkan keterangan secara lisan atau tertulis, atau menyuruh kliennya memberikan keterangan palsu.

KUHP lain yang ditulis Soenarto Soerodibroto (edisi 2011) mengutip banyak yurisprudensi mengenai Pasal 242 KUHP. Putusan Hoge Raad (HR) 19 Februari 1906 menyatakan kesengajaan untuk memberikan keterangan palsu adalah keadaan bahwa keterangannya adalah palsu atau bertentangan dengan kebenaran. Untuk dapatnya dihukum, hal ini harus dibuktikan. Putusan HR 25 Juni 1928 menegaskan suatu keterangan adalah palsu apabila sebagian dari keterangan itu adalah tidak benar; kecuali jika ini adalah sedemikian rupa sehingga dapat diperkirakan tidak ada kesengajaan untuk memberikan keterangan palsu.

Pasal 55 ayat (1) KUHP menyebutkan dipidana sebagai pelaku tindak pidana (a) mereka yang melakukan, yang menyuruh melakukan, dan yang turut serta melakukan perbuatan; (b) mereka yang dengan memberi atau menjanjikan sesuatu dengan menyalahgunakan kekuasaan atau martabat, dengan kekerasan, ancaman atau penyesatan, atau dengan memberi kesempatan, sarana atau keterangan, sengaja menganjurkan orang lain supaya melakukan perbuatan.
Tags:

Berita Terkait