Inklusivitas Pelayanan Publik untuk Difabel
Terbaru

Inklusivitas Pelayanan Publik untuk Difabel

Perlu adanya kebijakan untuk memperbanyak sosialisasi dan melibatkan masyarakat difabel dalam proses penyusunan kebijakan itu sendiri, karena masyarakat difabel lebih tau apa yang dibutuhkan dan bagaimana pelaksanaan yang seharusnya.

Willa Wahyuni
Bacaan 3 Menit
Hukumonline bersama Jakarta Smart City melakukan Policy Dialogue yang berfokuskan kepada perwujudan pelayanan publik digital yang terpadu dan inklusif. Foto: WIL
Hukumonline bersama Jakarta Smart City melakukan Policy Dialogue yang berfokuskan kepada perwujudan pelayanan publik digital yang terpadu dan inklusif. Foto: WIL

Dalam rangka pembangunan kesejahteraan sosial, salah satu yang menjadi perhatian pemerintahan adalah inklusivitas bagi masyarakat dalam mengakses pembangunan tersebut, tidak terkecuali bagi penyandang difabel.

Maksud dari inklusivitas adalah memastikan bahawa seluruh informasi atau sistem informasi yang sudah disiapkan dikembangkan dan diluncurkan oleh pemerintah, berguna untuk meningkatkan pelayanan publik yang dapat dinikmati oleh seluruh lapisan masyarakat. 

Mengenai inklusivitas, di level daerah DKI Jakarta, Legal Research and Analysis Manager Hukumonline, Christina Desy, pada Kamis (23/6), menyatakan belum ada secara khusus yang mengatur persoalan inklusi meski telah ada kebijakan lainnya.

Baca Juga:

“Salah satu poin penting menyangkut aksesibilitas penyandang disabilitas dapat dilihat dari akses masyarakat difabel belum terakomodir dengan optimal, meskipun aksesibilitas bagi masyarakat difabel merupakan isu strategis di dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJM) Jakarta,” jelasnya.

Penyandang difabel dapat diartikan sebagai seseorang yang mempunyai kelainan fisik atau mental yang dapat mengganggu atau menjadi rintangan dan hambatan baginya untuk melakukan kegiatan secara layak.

Meski saat ini pemerintah telah menetapkan berbagai kebijakan terkait dengan kehidupan dan keberadaan penyandang difabel, akan tetapi pelaksanaannya masih jauh dari harapan. Hal ini disebabkan oleh adanya pemahaman yang berbeda terhadap penyandang difabel oleh berbagai stakeholder.

“Saat ini, fokus peningkatan aksesibilitas kaum difabel itu lebih terakurasi untuk sarana dan prasarana fisik saja, padahal saat kita berbicara mengenai smart governance maka menyangkut juga sarana digital bagi difabel dan itu belum terakomodir dengan baik,” ucapnya.

Desy melanjutkan, sarana dan prasarana fisik yang diperuntukkan untuk masyarakat difabel juga sudah seharusnya saling terintegrasi satu sama lain, seperti penghubungan satu bangunan dengan bangunan lain atau fasilitas umum lainnya.

“Dalam setiap rencana atau regulasi mengenai pelayanan publik tentu kaum difabel diikutsertakan, namun hanya saja di lapangan belum optimal,” katanya.

“Sehingga mungkin dari segi kebijakan perlu adanya ketentuan yang diatur di peraturan tingkat daerah yang secara spesifik mengatur bagaimana ketentuan aspek yang bisa diaplikasikan dan mengikutsertakan kaum difabel, serta juga perlu adanya road map yang tegas,” sambungnya.

Kemudian, perlu diatur peraturan mengenai kebijakan untuk memperbanyak sosialisasi dan melibatkan masyarakat difabel dalam proses penyusunan kebijakan itu sendiri, karena masyarakat difabel lebih tau apa yang dibutuhkan dan bagaimana pelaksanaan yang seharusnya.

Sementara itu, Raedi Fadil BLUD Jakarta Smart City mengungkapkan dalam pengembangan sistem, pemerintah terus mengembangkan aplikasi pelayanan publik untuk seluruh kalangan.

“Kita mencoba mendengar bagaimana agar terus mengembangkan aplikasi pelayanan publik dengan fitur dan sistem yang dapat dimanfaatkan tidak hanya oleh sebagian golongan, namun juga oleh semua kalangan,” katanya.

Ia melanjutkan, pada saat pengembangan sistem, pemerintah mengajak seluruh perwakilan disetiap masyarakat untuk terlibat dalam perencanaan untuk mewujudkan akses pelayanan publik yang baik, termasuk penyandang difabel.

Inklusi bagi difabel digunakan sebagai sebuah pendekatan untuk membangun dan mengembangkan sebuah lingkungan yang semakin terbuka, mengajak serta mengikutsertakan semua masyarakat khususnya masyarakat difabel dalam mendapatkan haknya.

Pemenuhan hak warga negara tak terkecuali masyarakat difabel menjadi satu pijakan untuk terciptanya masyarakat yang berkeadilan. Masih banyaknya pelayanan publik yang masih memarjinalkan masyarakat difabel mengindikasikan, bahwa program pembangunan belum maksimal secara merata.

Tags:

Berita Terkait