Non-Conviction Based Asset Forfeiture untuk Buru Aset Pelaku Investasi Ilegal
Lipsus Waspada Investasi Ilegal:

Non-Conviction Based Asset Forfeiture untuk Buru Aset Pelaku Investasi Ilegal

Pendekatan Non-Conviction Based Asset Forfeiture (NCB) ini belum pernah digunakan sebelumnya untuk mengejar aset pelaku kejahatan terkait investasi ilegal. Namun, dua kasus lain sudah diterapkan untuk merampas aset pelaku tindak pidana tanpa melalui proses pidana.

Oleh:
NANDA NARENDRA PUTRA
Bacaan 2 Menit
Non-Conviction Based Asset Forfeiture 
Ketua Satgas Waspada Investasi, Tongam Lumban Tobing mengatakan bahwa kemungkinan besar uang peserta kegiatan investasi ilegal tidak akan kembali seutuhnya. Kalaupun proses hukum yang ditempuh berhasil ‘dimenangkan’, fakta membuktikan aset yang diperoleh pelaku dari kegiatan investasi abal-abal ternyata tak cukup memenuhi kewajiban yang harus dibayarkan kepada peserta yang berhak dapat penggantian.

“Uang itu sudah dikeluarkan untuk tiga pengeluaran utama. Pertama, pembayaran profit ke nasabah, itu besar. Kedua, Pemberian bonus kepada leader, bonus uang, mobil, dll. Ketiga, mereka bikin acara besar, mingguan, gathering. Dana-dana ini sangat besar, sehingga dana yang tersimpan saat ini tidak sebesar dana yang dihimpun. Aset itu lebih rendah daripada kewajiban pada nasabah,” kata Tongam saat diwawancarai Hukumonline, (25/4) lalu.

Namun, Satgas Waspada Investasi tetap berharap upaya hukum untuk pengembalian kerugian peserta kegiatan investasi tetap ditempuh. Tongam mengatakan, Satgas sangat menghargai upaya hukum yang dilakukan, baik oleh aparat penegak hukum atau inisiatif korban investasi sendiri. Masing-masing proses, mulai dari pidana, perdata, hingga PKPU dapat dioptimalkan untuk mengejar pengembalian aset pelaku kepada korban. Tongam memastikan Satgas akan membantu sebagai ahli atau saksi di persidangan. (Baca Juga: Raup Dana Ilegal Hingga Rp 500 Miliar, OJK Akhirnya Tutup Pandawa Group)

Terkait dengan NCB Asset Forfeiture, Tongam berpendapat konsep ini menarik untuk dikaji lebih jauh. Sekilas, lanjutnya, konsep ini tak jauh berbeda dengan konsep gugatan perdata yang bisa ditempuh untuk merampas kembali aset pelaku. Dalam kondisi misalnya pelaku melarikan diri sekalipun, upaya gugatan perdata tetap dapat ditempuh, yakni majelis hakim memutus perkara itu secara in absentia. Yang membuatnya bertanya, apakah bisa harta pelaku dirampas tanpa melalui putusan pengadilan?

“Saya secara pribadi, setiap ada upaya paksa seperti penyitaan itu memang perlu putusan pengadilan. Hal ini untuk menghindari moral hazard,” katanya.

Hukumonline.com
Sumber: Satgas Waspada Investasi (data hingga April 2017).

Penelusuran Hukumonline, sistem hukum pidana Indonesia khususnya KUHP mengenal perampasan barang sebagai salah satu hukuman tambahan, yakni diatur Pasal 10 KUHP. Ini berarti perampasan barang bergerak yang berwujud atau tidak berwujud atau barang tidak bergerak merupakan hukuman tambahan yang dapat dijatuhkan bersamaan dengan pidana pokok berupa pidana penjara dan atau denda.

Selain KUHP, aturan lain perampasan aset sebagai hukuman tambahan juga diatur dalam UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 dimana Pasal 17 disebutkan selain dapat dijatuhi pidana sebagaimana Pasal 2, Pasal 3, Pasal 5 sampai Pasal 14, terdakwa dapat dijatuhi pidana tambahan sebagaimana dimaksud Pasal 18.

Pidana tambahan sebagaimana Pasal 18 ayat (1) huruf a UU Nomor 31 Tahun 1999 adalah pidana tambahan selain yang diatur KUHP yang mana salah satunya adalah perampasan barang bergerak atau yang tidak berwujud atau barang tidak bergerak yang digunakan untuk atau yang diperoleh dari tindak pidana korupsi termasuk perusahaan milik terpidana dimana tindak pidana korupsi dilakukan. (Tahu Lebih Tentang Satgas Waspada Investasi: Satgas Waspada Investasi Butuh Payung Hukum Lebih Tinggi)

Direktur Tindak Pidana Ekonomi Khusus Polri Brigjen (Pol) Agung Setya, dalam kesempatan terpisah, mengatakan bahwa Polri berkomtimen memberantas investasi ilegal. Mereka juga akan mengubah strategi dengan lebih proaktif menindak pelaku, bahkan tanpa didahului adanya laporan dari korban.

“Kita (Polri) akan lakukan analisa sendiri, lakukan verifikasi, keabsahan legalitas perusahaan, dan operasional untuk identifikasi apakah ini satu kegiatan ilegal atau legal. Kalau itu semua kemudian melanggar hukum, kita lakukan penindakan tanpa tunggu laporan,” kata Agung kepada Hukumonline, pertengahan April lalu.

Dimintai tanggapannya terkait NCB Asset Forfeiture, ia mengatakan bahwa selama ini kerja yang dilakukan Kepolisian merujuk pada hukum acara yang berlaku, yakni KUHAP. KUHAP mensyaratkan adanya pemenuhan terhadap aspek formil dan materil untuk kepentingan kelengkapan berkas perkara. Selain itu, KUHAP juga mengatur soal penetapan tersangka yang nantinya diajukan ke muka sidang.

Memang betul, lanjutnya, konsep NCB Asset Forfeiture merupakan perampasan aset tanpa adanya proses pemidanaan. Bila mengacu pada KUHAP, maka Penyidik akan membuktikan apakah aset itu benar-benar didapat dari hasil tindak kejahatan. Pertanyaannya, bagaimana bila tanpa proses pemidanaan, apakah dapat dipastikan aset-aset yang dirampas betul-betul didapat pelaku dari hasil kejahatan?

“Pasti kan ada debateable di situ, makanya hukum acara-lah yang harus kita pegang, yang kita akan ikuti,” kata Agung.

Hukumonline.com
Sumber: Bareskrim Polri

Penelusuran Hukumonline, penyidikan dalam KUHAP didefinisikan: “untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya”. Dari situ, terlihat penelusuran hasil dan instrumen tindak pidana yang memungkinkan penyitaan dan perampasan aset tindak pidana belum merupakan bagian penting dari penyidikan dalam KUHAP.

Terlebih, KUHAP juga belum memungkinkan penyelidik dan penyidik untuk melaksanakan penelusuran hasil tindak pidana dan instrumen tindak pidana dengan baik. Sebagai contoh, KUHAP tidak mengatur secara jelas kewenangan penyelidik dan penyidik dalam mengakses sumber-sumber informasi, terutama yang dilindungi dengan aturan kerahasiaan yang diperlukan dalam rangka mengidentifkasi dan menemukan hasil tindak pidana.

Selain itu, KUHAP juga membatasi pengertian instrumen tindak pidana yang terbatas pada benda yang digunakan secara langsung dalam tindak pidana sebagaimana Pasal 39 huruf b KUHAP. Lalu, KUHAP juga tidak mengatur kemungkinan merampas harta dan instrumen tindak pidana dimana ada hambatan yang menghalangi pelaksanaan penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di pengadilan hingga eksekusi putusan pengadilan yang berkuatan hukum tetap.

“Pertanyaan saya, kapan kita membuktikan bahwa aset itu hasil kejahatan? Syarat formil dan materilnya bisa ga, tidak ada tersangkanya, asetnya di bawa ke pengadilan,” katanya.


Tags:

Berita Terkait