Splitsing Memungkinkan Pelanggaran Azas Hukum
Fokus

Splitsing Memungkinkan Pelanggaran Azas Hukum

Meski KUHAP membolehkan jaksa memisahkan berkas perkara. Namun prakteknya berpotensi terjadi pelanggaran azas hukum dalam proses pembuktian.

Mon/Ali
Bacaan 2 Menit

 

Meskipun berkas dipisah, kalau perbuatannya dilakukan bersama-sama dengan orang lain, jaksa di Pengadilan Tipikor tetap menjerat para pelaku dengan pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP tentang penyertaan. Nah, hakim acapkali berbeda pandangan dalam melihat peran dari masing-masing terdakwa. Bahkan kerugian negara yang diakibatkan perbuatan pidana tersebut pun bisa tidak sama.

 

Sebut saja perkara korupsi Automatic Fingerprint Identification System (AFIS) yang diputus beberapa hari lalu. Perkara AFIS ini dibagi menjadi dua berkas. Pertama dakwaan kepada Eman Rachman, Direktur PT Sentral Filindo yang menjadi  rekanan dalam pengadaan alat AFIS. Berkas kedua menyangkut Zulkarnain Yunus dan Apendi. Mereka adalah mantan Sekjen Departemen Hukum dan HAM (Depkumham) dan Kepala Bagian Rumah Tangga Dirjen Administrasi Hukum Umum.

 

Majelis hakim dalam kedua perkara itu pun berbeda. Perkara Eman dipimpin oleh hakim Moerdiono. Sedang perkara Zulkarnain dan Apendi dipimpin oleh hakim Moefri. Rambut boleh sama, putusan bisa beda. Pada akhirnya putusan yang dijatuhkan kedua majelis memang berbeda.

 

Eman selaku rekanan dituding melakukan perbuatan melawan hukum alias melanggar Pasal 2 ayat (1) UU Korupsi. Eman terbukti sebagai medepleger (turut serta) bersama Zulkarnain dan Apendi. Sementara Zulkarnain dan Apendi terbukti menyalahgunakan wewenang. Tidak jelas kualifikasi deelnemingnya (penyertaan). Ujung-ujungnya aktor intelektual kasus AFIS belum terungkap.

 

Hal serupa juga terjadi dalam kasus korupsi busway yang melibatkan Rustam Effendi Sidabutar (Kepala Dinas Perhubungan DKI Jakarta) dan Sylvira Ananda (Pimpro Busway). Keduanya diputus bersalah menyalahgunakan jabatan. Sementara rekanannya, Budi Susanto, mantan Direktur Utama PT Armada Usaha Bersama dituding melakukan perbuatan melawan hukum yang merugikan keuangan negara.

 

Begitu pula dalam kasus korupsi penerbitan Izin Pemanfaatan Kayu (IPK) di Kalimantan Timur. Kasus yang dibagi menjadi empat berkas ini bahkan berbeda soal perhitungan kerugian negara.

 

Dalam tingkat banding, kasus penerbitan IPK yang melibatkan Suwarna Abdul Fatah, Gubernur Kaltim non-aktif, putusan pengadilan Tipikor tingkat pertama dibatalkan. Menurut majelis hakim banding, putusan itu salah dalam menerapkan hukum. Putusan itu dikoreksi dan Suwarna juga dikenakan Pasal 2 ayat (1) seperti rekanannya, Marthias alias Pung Kian Hwa.

Halaman Selanjutnya:
Tags: