Jaksa Banding Atas Vonis Kasus Pemerkosa 13 Santriwati
Terbaru

Jaksa Banding Atas Vonis Kasus Pemerkosa 13 Santriwati

Berbagai dalil dan argumentasi menjadi pertimbangan Majelis Hakim Tingkat banding memutus perkara ini.

Rofiq Hidayat
Bacaan 4 Menit
Ilustrasi
Ilustrasi

Tak puas dengan putusan majelis hakim Pengadilan Negeri (PN) Bandung terhadap terdakwa Herry Wirawan kasus kejahatan seksual terhadap 13 santriwati, pihak Kejaksaan Tinggi (Kejati) Jawa Barat resmi mengajukan upaya hukum banding. Langkah hukum tersebut merespons kekecewaan rasa keadilan pihak korban dan keluarga korban, serta masyarakat pegiat perlindungan terhadap perempuan dan anak.

Kepala Seksi Penerangan Hukum Kejaksaan Tinggi Jawa Barat, Dodi Gazali Emil menegaskan berkas memori banding telah diajukan secara resmi ke PN Bandung. Selanjutnya bakal diteruskan ke Pengadilan Tinggi (PT) Jawa Barat. Nantinya bakal diproses sesuai aturan yang berlaku sesuai Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)

Meski sudah terdaftar resmi, Dodi masih enggan menyebut dalil atau alasan pengajuan banding atas putusan Majelis Hakim PN Bandung yang diketuai Purnomo Yohanes itu. Pengadilan negeri merupakan pengadilan tingkat pertama yang memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara sebagai judex factie.

Sementara pengadilan tinggi merupakan pengadilan tingkat banding terhadap perkara yang telah diputus pengadilan tingkat pertama. Pengadilan tinggi bertugas memeriksa ulang bukti-bukti dan fakta yang ada. Pengadilan tinggi pun termasuk pengadilan judex factie.

“Tentu JPU (jaksa penuntut umum) yang akan menjelaskan, tapi yang jelas, kami sudah mengajukan banding pada hari ini,” ujar Dodi Gazali Emil di Gedung PN Bandung sebagaimana dikutip dari laman Antara, Senin (21/2/2022).

(Baca Juga: Mendorong Jaksa Banding Atas Vonis Seumur Hidup Pemerkosa Santriwati)

Dodi melanjutkan dalam berkas memori banding terdapat banyak dalil dan argumentasi yang dibangun jaksa. Dodi berharap berbagai dalil dan argumentasi menjadi pertimbangan Majelis Hakim Tingkat banding memutus perkara dengan Terdakwa Herry Wirawan ini. “Alasan banding nanti kita bisa jelaskan lebih lanjut,” imbuhnya.

Langkah hukum jaksa mengajukan banding merespon sejumlah harapan dari berbagai pihak. Seperti Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) Hidayat Nurwahid. Menurutnya, dengan mengajukan upaya banding bukti nyata keseriusan kejaksaan pemberantasan kekerasan seksual terhadap anak demi terwujudnya keadilan bagi korban, keluarga korban maupun masyarakat luas.

Sama halnya dengan Hidayat Nurwahid, Deputi Perlindungan Khusus Anak, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Kementerian PPPA, Nahar sejak awal mendorong agar jaksa mengambil langkah banding ke pengadilan tinggi dengan beberapa alasan.

Pertama, dalam putusan PN Bandung menyatakan negara harus hadir dalam melindungi dan memenuhi hak korban dengan memberikan restitusi. Padahal, restitusi menjadi kewajiban pelaku dan pihak ketiga sebagaimana diatur dalam UU No.31 Tahun 2014 tentang Perubahan atas UU No.13 Tahun 2006 tentang Perlindungan saksi dan korban.

“Memperhatikan ketentuan tersebut, Kementerian PPPA tidak dapat dibebankan untuk membayar restitusi,” ujarnya.

Kedua, dalam putusannya Majelis Hakim PN Bandung membebaskan terdakwa dari hukuman membayar restitusi dan ganti kerugian dengan mempertimbangkan telah diganjar hukuman seumur hidup sesuai rumusan Pasal 67 KUHP. Menurutnya, dengan mempertimbangkan asas lex posterior derogat legi priori, terdapat UU No.17 Tahun 2016  tentang Penetapan Perppu No.1 Tahuun 2016 tentang Perubahan Kedua atas UU No.23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Menjadi UU.

Padahal, dalam UU 17/2016 menegaskan pelaku persetubuhan terhadap anak selain diganjar hukuman maksimal pidana mati, juga dijerat dengan hukum tambahan. Yakni berupa kebiri kimia dan rehabilitasi. “Pertimbangan ini dapat diusulkan sebagai bahan penyusunan memori banding jaksa penuntut umum,” harapnya.

Sebelumnya, Majelis Hakim PN Bandung, mengganjar hukum penjara seumur hidup terhadap Herry Wirawan. Majelis berpendapat tidak ada unsur yang dapat meringankan hukuman bagi Herry Wirawan atas apa yang dilakukannya serta dampak yang timbul dan dialami para anak korban. Herry dinyatakan terbukti bersalah karena telah melakukan pemerkosaan terhadap 13 santriwati hingga diantaranya mengalami kehamilan dan melahirkan. Majelis Hakim berpendapat yang sama dengan jaksa bahwa perbuatan Herry itu merupakan kejahatan yang sangat serius.

Namun, Majelis Hakim tidak menjatuhkan vonis mati sesuai tuntutan jaksa dalam persidangan sebelumnya. Dalam tuntutannya, jaksa menuntut pidana mati, membayar denda sebesar Rp500 juta, membayar restitusi kepada para korban sebesar Rp331 juta, serta pidana tambahan berupa pengumuman identitas, identitas terdakwa disebarkan, dan kebiri kimia. 

Alasan Majelis Hakim PN Bandung, Herry Wirawan tidak divonis hukuman mati dan memilih hanya menjatuhkan hukuman penjara seumur hidup karena alasan keadilan. Menurut Majelis, hukuman penjara seumur hidup sudah cukup untuk menjauhkan Herry Wirawan dengan para korban yang mengalami trauma sangat berat. Salah satu alasan Majelis, penerapan Pasal 67 KUHP yang menyebutkan terpidana tidak memungkinkan dijatuhi pidana lain apabila sudah dipidana mati atau penjara seumur hidup.

Majelis menyebut total keseluruhan restitusi 12 orang anak korban berjumlah Rp331.527.186. Undang-undang belum mengatur kepada siapa restitusi bakal dibebankan, apabila pelaku berhalangan untuk membayar restitusi tersebut. Karena itu, menurut Majelis, restitusi sebesar Rp331 juta itu merupakan tugas negara. Dalam hal ini, hakim menyebut KPPPA memiliki tugas untuk melindungi para anak korban.

"Rp331 juta dibebankan kepada KPPPA, apabila tidak tersedia anggaran tersebut, maka akan dianggarkan dalam tahun berikutnya,” dalih Majelis.

Tags:

Berita Terkait