Jaksa Terbaik Bukan Terbanyak Memenjarakan Pelaku
Utama

Jaksa Terbaik Bukan Terbanyak Memenjarakan Pelaku

Cara pandang Jaksa dan aparat penegak hukum harus beralih dari keadilan retributif menuju keadilan restoratif. Fokus penegakan hukum bukan untuk pembalasan, namun media rehabilitasi sosial.

Oleh:
Normand Edwin Elnizar
Bacaan 3 Menit
Kepala Kejaksaan Tinggi Jawa Barat, Asep Nana Mulyana saat diskusi bertajuk 'Restorative Justice Apakah Solutif?', Sabtu (16/7/2022). Foto: NEE
Kepala Kejaksaan Tinggi Jawa Barat, Asep Nana Mulyana saat diskusi bertajuk 'Restorative Justice Apakah Solutif?', Sabtu (16/7/2022). Foto: NEE

Kepala Kejaksaan Tinggi Jawa Barat, Asep Nana Mulyana mengkritik anggapan bahwa Jaksa dinilai sukses berdasarkan jumlah terdakwa yang dipenjarakan. “Kita terjebak pendekatan output berupa angka kuantitatif. Aparat penegak hukum dianggap baik atau berhasil kalau banyak memenjarakan orang, banyak menghukum orang tanpa melihat dampaknya,” kata doktor ilmu hukum ini dalam diskusi bertajuk Restorative Justice Apakah Solutif?”yang diselenggarakan Lembaga Kajian dan Keilmuan Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Sabtu (16/7/2022).

Asep menilai cara pandang itu harus dikoreksi karena sudah berdampak buruk pada proses penegakan hukum. “Kalau parameternya begitu, hukum seolah pabrik atau mesin yang berjalan tanpa hati nurani dan pendekatan humanis,” kata Asep.

Ia mengakui kebanyakan cara kerja aparat penegak hukum termasuk Jaksa cenderung menegakkan hukum secara prosedural. Selama prosedur dianggap benar, aspek keadilan yang tidak terpenuhi dalam penegakan hukum yang berjalan dianggap bukan masalah. “Fokus yang dikejar kawan-kawan Jaksa dan aparat penegak hukum pada umumnya sebatas keadilan secara prosedural birokratif asalkan sesuai dengan hukum acara,” lanjutnya.

Baca Juga:

Kritik kedua Asep adalah paradigma Jaksa yang cenderung retributif. Cara pandang ini fokus pada menghukum pelaku atas kejahatan yang dilakukan. Teori retributive justice menganggap bahwa hukuman yang diberikan kepada pelaku tindak pidana menjadi pembalasan yang adil atas kerugian akibat kejahatannya. Penjatuhan hukuman pidana sebagai penderitaan untuk pelaku dibenarkan karena telah membuat penderitaan bagi korban.

Asep mengatakan sudah terjadi perubahan sosial yang membuat masyarakat lebih berharap pada penyelesaian yang memulihkan hak korban. “Masalah yang muncul bahkan penegakan hukum hanya tajam ke bawah, namun tumpul ke atas. Rasa keadilan masyarakat terabaikan semata karena sudah memenuhi prosedur dalam hukum acara,” tegasnya.

Ia mengingatkan cara pandang Jaksa dan semua aparat penegak hukum harus berubah. Cara pandang restorative justice perlu lebih diutamakan. Penekanananya pada pemulihan kembali hak korban ke keadaan semula, bukan pembalasan.

Tags:

Berita Terkait