Jalan Mendaki Menjerat Korporasi Pelanggar Hak-Hak Konsumen
Hukum Perlindungan Konsumen:

Jalan Mendaki Menjerat Korporasi Pelanggar Hak-Hak Konsumen

Selama 20 tahun UU Perlindungan Konsumen disahkan, sanksi pidana terhadap korporasi masih tanda tanya. Ada nomenklatur ‘corporate vicarious criminal liability’.

Muhammad Yasin
Bacaan 2 Menit

Yusuf Shofie mengenang, saat menyampaikan pidato selaku promotor Profesor Sutan Remy Sjahdeini meminta Mahkamah Agung menerbitkan fatwa tentang menyidik, menuntut dan menghukum korporasi pelaku tindak pidana. Enam tahun setelah pidato Prof. Sutan Remy itu terbitlah Peraturan Mahkamah Agung (Perma) No. 13 Tahun 2016 tentang Tata Cara Penanganan Tindak Pidana oleh Korporasi.

Sejak Perma tersebut terbit, perhatian Mahkamah Agung dan lembaga penegak hukum lain memang terasa lebih kuat. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) bahkan sudah memberi sejumlah bukti, menetapkan beberapa korporasi sebagai tersangka. Bahkan ada yang perkaranya sudah mempunyai kekuatan hukum mengikat. PT Nusa Konstruksi Enjiniring, satu korporasi yang dibawa ke pengadilan, memenuhi kewajiban yang dibebankan oleh hakim.

(Baca juga: KPK Eksekusi Aset Terpidana Korporasi).

Aturan yang menjerat pelaku usaha sebagai perseroan juga dapat dimaknai dari rumusan UU No. 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan. Ada 18 kali kata konsumen disebut dalam Undang-Undang ini. Tetapi rumusan pasal-pasal pidananya tidak menyebut eksplisit korporasi. Misalnya, ada ancaman pidana bagi pelaku usaha yang tidak menggunakan atau tidak melengkapi label berbahasa Indonesia pada barang yang diperdagangkan di dalam negeri. Dendanya bisa sampai maksimal 5 miliar rupiah. Pelaku usaha bisa berupa perseorangan atau badan usaha yang berbentuk badan hukum atau tidak berbadan hukum.

Pidana Perlindungan Konsumen

Penelusuran yang dilakukan hukumonline ada beberapa kasus pidana perlindingan konsumen yang masuk ke ruang pengadilan, bahkan berproses hingga Mahkamah Agung. Dalam UU Perlindungan Konsumen, ketentuan pidana diatur dalam Pasal 62. Tetapi pasal ini merujuk kembali ke pasal-pasal lain sesuai jenis perbuatan yang dilakukan.

Misalnya, pelaku usaha baik perseorangan maupun korporasi, terancam hukuman maksimal 5 tahun penjara atau denda maksimal dua miliar jika melanggar ketentuan tentang larangan bagi pelaku usaha (Pasal 8), larangan iklan produk (Pasal 9), iklan menyesatkan (Pasal 10), dan menjanjikan sesuatu yang tidak akan dilaksanakan (Pasal 13). Ancaman senada ditujukan kepada korporasi yang terbukti mencantumkan klausula baku sebagaimana tercantum dalam Pasal 18 UU Perlindungan Konsumen.

Hukumonline.com

Namun masih ada pasal pidana yang punya relevansi dengan UU Perlindungan Konsumen. Dalam putusan Mahkamah Agung No. 1490 K/Pid.Sus/2015 (lihat tabel), penuntut umum menggunakan pasal 18 (klausula baku) untuk menjerat terdakwa. Bahkan jaksa menerapkan juga UU Jaminan Fidusia, selain UU Perlindungan Konsumen.

(Baca juga: Pengendali Perseroan Bisa Dimintai Tanggung Jawab Pidana).

Yusuf Shofie telah meneliti puluhan putusan terkait perlindungan konsumen. Setelah penelitian itu, belum diketahui  bagaimana perkembangan kasus pidana perlindungan konsumen di lapangan. Beberapa yang terungkap ke permukaan adalah kelalaian mencantumkan label pada kemasan produk. Namun bukan berarti tidak ada upaya hukum yang ditempuh konsumen. Advokat David Tobing menyatakan banyak konsumen yang menempuh jalur hukum perdata untuk meminta tanggung jawab pelaku usaha.

Yus mengatakan aparat penegak hukum bukan tak mempraktikkan pertanggungjawaban pidana korporasi. Cuma, yang dimintai tanggung jawab belum sampai ke level direksi “Manajer toko dibebani tanggung jawab pidana atas beredarnya barang-barang kadaluarsa pada display supermarket,” jelasnya. “Kesimpulan saya, pertanggungjawaban pidana korporasi di Indonesia baru menyentuh jajaran managerial,” sambung dosen Hukum Perlindungan Konsumen pada Universitas Yarsi Jakarta itu.

Tags:

Berita Terkait