Jalan Sukses Advokat Berintegritas Tanpa Suap
Road to Top 100 Indonesian Law Firms 2022

Jalan Sukses Advokat Berintegritas Tanpa Suap

Penting untuk mengupayakan transaksi yang berjalan tidak melawan hukum dan mencoba untuk lebih berinovasi dalam menuntaskan suatu perkara yang ditangani.

Oleh:
Ferinda K Fachri
Bacaan 3 Menit
Co-Founding Partner Assegaf Hamzah & Partners, Chandra M. Hamzah. Foto: RES
Co-Founding Partner Assegaf Hamzah & Partners, Chandra M. Hamzah. Foto: RES

Menjaga integritas ketika menjalankan tugas profesi sudah seharusnya patut dipegang oleh siapapun. Termasuk dalam hal ini para praktisi hukum, seperti advokat. Integritas seorang advokat dapat dilihat dari bagaimana cara dirinya menyelesaikan perkara kliennya. Apakah mencoba untuk menghalalkan segala cara, seperti melakukan aksi penyuapan atau tetap berpendirian teguh pada nilai kejujuran dan mencari jalan alternatif untuk “memenangkan” perkara?

Co-Founding Partner Assegaf Hamzah & Partners (AHP), Chandra M. Hamzah, membeberkan pengalamannya mengenai tantangan atau godaan menjaga integritas yang menerpa selama dua dekade lebih membesarkan AHP.

“Pernah satu kejadian, kita sudah sampai tahap kesimpulan tapi ditunda-tunda. Karena paniteranya hubungi kita dan bilang bahwa ‘ditunggu sama hakimnya’, terus terang saja saya sampaikan ‘tidak ada’. Putusin ya putusin aja, gak ada. Itu sampai ditunda-tunda sampai 3 bulan, 4 bulan,” ujar Chandra M Hamzah saat wawancara ekslusif di ruang kerjanya pada Jum’at (22/4/2022) lalu.

Ia menegaskan selama ini AHP menentang keras praktik suap dalam penyelesaian suatu perkara. Hal lain yang sempat terjadi berkaitan integritas ialah adanya permintaan kepada AHP untuk membuat structure advice yang dapat membantu rencana proyek tertentu. Chandra menegaskan hal tersebut tidak bisa dilakukan karena melanggar hukum, maka tentu tidak akan dilakukan.

“Untuk itu kita mencoba mencari jalan sehingga suatu transaksi, suatu project bisa berjalan. Tapi jangan sampai melawan hukum. Beberapa kali oknumnya tidak happy dengan itu. Cuma apa boleh buat, kita harus mengambil posisi seperti itu. Makin lama AHP itu dikenal, mudah-mudahan ya, sebagai law firm yang punya integritas,” kata dia.

Selengkapnya, bisa juga menyimak wawancara Hukumonline bersama Co-Founding Partner Assegaf Hamzah & Partners (AHP), Chandra M. Hamzah melalui tautan video berikut ini:

Dengan mengikuti semua peraturan dan memegang teguh asas prudential, AHP giat berupaya mentaati aturan hukum yang berlaku agar transaksi yang berjalan tidak melawan hukum. Pasalnya, AHP memiliki keyakinan jika suatu transaksi dijalankan tanpa tunduk terhadap aturan yang ada, maka bisa saja permasalahan akan muncul atau mencuat di kemudian hari.

Chandra menggarisbawahi bahwa keputusan kantor hukumnya untuk bersikap tunduk di hadapan segala hukum yang ada, berbeda dengan terminologi “risk taker”. Menurutnya, risk taker hanya berlaku dalam dunia bisnis, seperti masalah untung atau rugi, dan lain-lain yang dapat diambil keputusannya oleh menajemen perusahaan. Namun jika berkenaan dengan hukum, sudah terang benderang harus diikuti.

Baca Juga:

Dengan posisi/sikap yang seperti itu, selama ini AHP berkeyakinan tetap memiliki market sendiri. Hal ini bagi pasar yang menganut integritas sebagai nomor satu yang dijunjung dan menyadari pentingnya mengikuti aturan. Dengan berbekal keyakinan tersebut, AHP mencoba untuk terus eksis di lingkungan kantor-kantor hukum lainnya.

“Walaupun awal-awalnya berat. Banyak orang bilang, ‘gak mungkin lah AHP dapat bertahan kalau tanpa nyuap’, ‘ga mungkin lah bertahan kalau gak pake kickback’. Itu membuat kita berpikir, katakanlah untuk litigasi, kita harus melakukan upaya-upaya yang lebih dari yang lain untuk ‘memenangkan’ suatu perkara.”

Berinovasi menuntaskan perkara

Upaya yang dimaksudkan Chandra dengan berinovasi menuntaskan suatu perkara yang ditangani. Sebagai contoh, hakim Indonesia atau orang pada umumnya lebih cepat dapat menerima informasi melalui visual atau mendengar ketimbang membaca. Misalnya, Tim AHP mendatangkan ahli yang dapat melakukan peraga di ruang sidang daripada hanya sebatas berbicara.

Dari membuat visualisasi, presentasi, bahkan pada industri tertentu dibuatkan mockup bagaimana barang-barang dan cara kerjanya. Selanjutnya akan didatangkan ahli yang memiliki pemahaman untuk dapat “beratraksi” di hadapan hakim agar menjelaskan sesuatu yang ruwet melalui alat peraga.

Selain itu, adanya asumsi bahwa membaca dokumen besar dapat membuat seorang menjadi cepat lelah dan letih, maka bisanya dibuatkan summary (ringkasan) di halaman depan sebanyak satu-dua lembar. Terkadang juga sampai dipastikan kembali preferensi hakim dalam membaca dokumen lebih menyukai font seperti apa, serta ukuran tulisan pada dokumennya untuk memudahkan membaca.

“Karena kita memutuskan untuk tidak melakukan hal yang buruk, kita mencoba kreatif melalui hal-hal yang bisa dibenarkan,” ujar mantan Pimpinan KPK ini.

“Sebenarnya yang pertama dilakukan bukan hanya law firm saja, tapi semua orang. Jangan melakukan perbuatan yang aneh-aneh (seperti menyuap). Karena kalau menyuap gak perlu sekolah. Ngapain sekolah 4 tahun cuma untuk bisa menyuap? Kita bergaul saja dengan teman-teman, bina hubungan, suap, selesai. Gak perlu mikir, gak perlu sekolah. Pada saat Anda melakukan itu, Anda mengingkari anugerah otak yang diberikan. Gak perlu jadi Sarjana Hukum kalau buat menyuap,” tutupnya.

Tags:

Berita Terkait