Jaminan Sosial Rawan ‘Dibajak’ Politik Transaksional
Berita

Jaminan Sosial Rawan ‘Dibajak’ Politik Transaksional

Karena hasil pemilu legislatif juga transaksional.

ADY
Bacaan 2 Menit
Jaminan Sosial Rawan ‘Dibajak’ Politik Transaksional
Hukumonline
Jaminan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia sebagaimana amanat UUD 1945 sepertinya sulit untuk diwujudkan. Politisi PDIP Rieke Diah Pitaloka khawatir program jaminan sosial yang telah ditegaskan dalam UU No. 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) dan UU No. 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS), rawan dibajak oleh politik transaksional.

Rasa khawatir Rieke muncul setelah dia menyaksikan langsung proses Pemilu 2014 yang banyak diwarnai modus-modus transaksional seperti jual beli suara. Berdasarkan pengalamannya mengikuti tiga kali penyelenggaraan pemilu, Rieke menilai praktik transaksional pada Pemilu 2014 adalah yang terparah.

Rieke mengaku pernah menemukan ada seorang calon legislatif (caleg) yang rela menghabiskan dana sampai Rp40 milyar demi meraih kursi di parlemen. Menurut dia, kasus seperti ini adalah contoh caleg yang terjebak praktik-praktik transaksional. Rieke khawatir caleg yang melakukan praktik transaksional akan juga membawa kepentingan transaksional.

“Saya heran tujuan mereka (caleg transaksional,-red) masuk ke DPR itu apa kalau tidak transaksional. Jaminan sosial itu paling rawan ditransaksionalkan,” katanya dalam seminar yang diselenggarakan Trade Union Rights Center di Jakarta, Rabu (23/7).

Apabila dibajak politik transaksional, Rieke khawatir sistem jaminan sosial yang seharusnya nirlaba, justru menjadi komersil. Indikasi ini, kata Rieke, terlihat ketika Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pernah melontarkan pernyataan bahwa BPJS itu seperti Obama Care, sistem jaminan kesehatan di Amerika Serikat.

Rieke menegaskan BPJS berbeda dengan Obama Care. BPJS dibentuk dari BUMN persero yaitu PT. Askes dan PT. Jamsostek. Dua PT plat merah ini lalu bertransformasi menjadi sebuah badan nirlaba yaitu BPJS Kesehatan dan Ketenagakerjaan. Sementara, Obama Care diselenggarakan oleh badan usaha komersial swasta, meskipun anggarannya berasal dari pemerintah.

Rieke memprediksi perjuangan DPR untuk mendorong pelaksanaan program jaminan sosial akan sulit dilakukan. Padahal, anggota dewan tidak bisa berjuang sendiri untuk mendorong perubahan kebijakan. Untuk itu, yang dibutuhkan ke depan adalah komitmen dari pemangku kepentingan, terutama rakyat Indonesia terhadap terselenggaranya jaminan sosial yang sesuai harapan. Salah satunya dapat dilakukan dengan melakukan tekanan lewat parlemen jalanan.

Bagi Rieke hal itu patut dilakukan karena sekalipun pemerintahan baru nanti mendukung pelaksanaan jaminan sosial yang ideal, namun bakal kandas jika tidak direstui DPR. Pasalnya, mekanisme menentukan kebijakan dan anggaran itu tidak hanya diputuskan oleh pemerintah saja, tapi juga persetujuan DPR.

Mekanisme itu yang menentukan apakah lima program jaminan sosial yang digelar lewat BPJS yaitu Jaminan Kesehatan (JKN), Hari Tua (JHT), Pensiun (JP), Kecelakaan Kerja (JKK) dan Kematian (JKM) dapat berjalan.

“Tidak mudah bagi kita untuk menjalankan 5 jaminan sosial itu. Karena perubahan itu tidak hanya di tangan Presiden, tapi membutuhkan partisipasi rakyat,” urai Rieke.

Sementara, mantan Dirut PT Askes dan Ketua Tim Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) 2001-2004, Sulastomo, mengusulkan agar pemerintahan baru nanti konsisten melaksanakan amanat UU SJSN. Sebab, pelaksanaan program jaminan sosial di setiap negara berbeda-beda. Belum tentu sistem yang sukses digunakan negara lain dapat diterapkan di Indonesia. “Kalau mengacu hal yang lain nanti malah menjadi boomerang,” pungkasnya.
Tags:

Berita Terkait