​​​​​​​Jangan Asal Minta Ganti Rugi Pakai Dolar
Landmark Decisions MA 2017

​​​​​​​Jangan Asal Minta Ganti Rugi Pakai Dolar

Pembayaran dan penyelesaian kewajiban di wilayah Indonesia harus dilakukan dengan mata uang rupiah. Jika tidak, ada risiko hukumnya.

Fitri N Heriani
Bacaan 2 Menit

 

Majelis PK menyatakan bahwa sebenarnya tidak ada kekhilafan atau kekeliruan yang nyata dari putusan judex facti, tetapi alasan PK dapat dikabulkan sepanjang mengenai ganti rugi pada amar ketiga yang harus ditulis dalam bentuk mata uang rupiah. Majelis bahkan menghitung sendiri berdasarkan kurs dolar AS dengan rupiah pada saat putusan PK diucapkan.

 

Hikmahanto menilai pertimbangan majelis untuk menggunakan mata uang rupiah sudah sah. Yang mengherankan justru langkah para pihak yang masih mengajukan tuntutan pakai dolar AS padahal para tergugat juga tinggal di Indonesia. “Aneh ya (pakai dolar), karena tidak ada kaitannya dengan transaksi internasional. Tetapi kalau memang itu (perubahan mata uang) dimohonkan dalam PK dan MA mengabulkan, itu wajar-wajar saja. Tetapi jika tidak ada pihak yang memohonkan itu dalam bentuk rupiah, dan MA mengabulkan maka itu aneh,” pungkasnya.

 

Pada dasarnya, memang tak ada aturan yang jelas mengenai penggunaan rupiah dalam berkas gugatan. Namun jika tujuannya adalah sebagai pembayaran, maka aturan UU Mata Uang tersebut berlaku untuk isi gugatan atau putusan kasus hukum perdata yang identik dengan pembayaran ganti rugi atau dwangsom.

 

Yunus Husein menegaskan sudah selayaknya mata uang yang digunakan adalah rupiah sesuai dengan aturan dalam UU Mata Uang. Selain pertimbangan menegakkan kedaulatan negara, penggunaan rupiah dalam gugatan atau putusan pengadilan adalah guna memberikan kepastian nilai yang harus dibayarkan. Hal ini mengingat nilai tukar rupiah terhadap dolar terus berubah. “Apalagi nilai tukar berubah-ubah, kalau pakai ya dolar kapan yang kapan dipakai,” ungkapnya.

 

Sebuah artikel di laman Klinik Hukumonline tertanggal 18 Juli 2011, menjelaskan mengenai penggunaan mata uang rupiah dalam sebuah perjanjian. Merujuk pasal 23 ayat (1) UU Mata Uang, perjanjian yang telah dibuat secara tertulis dengan menggunakan mata uang asing sebelum diundangkannya UU Mata Uang dapat diselesaikan/diteruskan pemenuhan transaksinya dengan menggunakan mata uang asing sebagaimana telah diperjanjikan. Perlu digarisbawahi bahwa pengecualian ini hanya berlaku bagi perjanjian yang telah ada dan berjalan sebelum UU Mata Uang ini diundangkan.

 

Baca:

 

Sedangkan untuk perjanjian yang dibuat setelah berlakunya UU Mata Uang ini (setelah 28 Juni 2011), maka tidak ada larangan untuk menentukan jumlah transaksi menggunakan mata uang asing dalam perjanjian. Akan tetapi, pemenuhan transaksinya (pembayarannya) harus tetap dilakukan dengan menggunakan Rupiah sesuai ketentuan Pasal 21 ayat (1) UU Mata Uang. Hal tersebut disampaikan oleh Wakil Ketua Komisi XI DPR (periodel 2009-2014) Achsanul Qosasi dalam Seminar Hukumonline berjudul “Menghindari Risiko Pidana Penggunaan Mata Uang Asing Dalam Transaksi Bisnis di Indonesia”.

 

Setidaknya, putusan Mahkamah Agung dalam kasus ini menjadi sebuah pelajaran berharga bagi para pihak yang bersengketa di pengadilan.

Tags:

Berita Terkait