Jejak Perubahan Pasal dalam Pembentukan KUHP Nasional
Pojok KUHP

Jejak Perubahan Pasal dalam Pembentukan KUHP Nasional

Perubahan terjadi seperti penghapusan, reformulasi, penambahan frasa maupun ayat, hingga reposisi. Terjadinya perubahan setelah terdapat masukan masyarakat dari sosialisasi dan dialog publik.

Tim Publikasi Hukumonline
Bacaan 6 Menit

Reformulasi

Pemerintah mengacu hasil sosialisasi dan dialog publik pun terjadi reformulasi sejumlah pasal RKUHP.  Sepertihalnya dalam penjelasan Pasal 20 huruf c menambahkan frasa ‘bekerja sama secara sadar’ berdasarkan masukan IKADIN Jawa Barat dalam dialog publik. Selanjutnya memindahkan paragraf pertama penjelasan Pasal 38 menjadi penjelasan Pasal 39 sebagaimana usulan ahli medikolegal dan Institute Criminal for Justice Reform (ICJR). Begitupula mengganti kata ‘eksaserbasi’ menjadi ‘kekambuhan’, agar lebih mudah dipahami. Serta penambahan kata ‘dan alasan pemaaf’ setelah kata ‘alasan pembenar’ dalam Pasal 50”.

Selanjutnya, menambahkan frasa ‘kemerdekaan menganut kepercayaan’ setelah frasa ‘kemerdekaan beragama’ dalam Pasal 76 ayat (3) huruf b. Kemudian menambahkan  kata  ‘kepercayaan’ setelah kata ‘agama’, dan kata ‘keyakinan’ sebelum kata ‘politik terdakwa’ dan menghapus kata ‘keyakinan’ sebelum kata ‘agama’ pada  Pasal 85 ayat (2) huruf f. Reformulasi Pasal 76 ayat (3) huruf b dan Pasal 85 ayat (2) huruf  merupakan tindaklanjut dari masukan Majelis Luhur Kepercayaan Terhadap Tuhan YME Indonesia Kota Bandung, hasil dialog publik.

Masih ada reformulasi terhadap penjelasan Pasal 187 sebagai penegasan pengaturan mengenai besaran pidana denda terhadap tindak pidana yang berpotensi menimbulkan kerugian yang besar bagi negara/masyarakat. Kemudian penghapusan frasa ‘yang sah’ pada Pasal 189 dan 193, 194, 195, 221, 240, dan 241. Tujuannya menghindari kerancuan mengenai adanya pemerintah yang sah dan yang tidak sah. Mereformulasi penjelasan Pasal 218 yang mengatur penyerangan harkat dan martabat presiden maupun wakil presiden.

“Sebagaimana masukan dari ICJR,” Albert yang juga dosen hukum pidana Fakultas Hukum Universitas Trisakti itu.

Sementara dalam Pasal 219, pembentuk UU menyepakati perubahan besaran ancaman hukuman yang sebelumnya selama 4 tahun 6 bulan, menjadi 4 tahun. Pengaturan ancaman sanksi hukuman pidana penjara dalam Pasal 226 selama 2 tahun 6 bulan, namun dalam RKUHP per 9 November disepakati menjadi 2 tahun. Hal serupa terjadi pada Pasal 234, 236 dan 238 semula dengan ancaman pidana 5 tahun diubah menjadi 3 tahun. Serta mengurangi ancaman pidana denda dari kategori V menjadi kategori IV.

Selain itu, penjelasan Pasal 240 reformulasi berdasarkan definisi unrest dan definisi ‘group of people’ dalam Black’s Law Dictionary.  Sedangkan dalam Pasal 245 menambah frasa ‘dapat’. Selanjutnya, rumusan norma tindak pidana inses dalam Pasal 417 dalam draf RKUHP 4 Juli diatur dalam Pasal 413. Selain itu, perubahan rumusan tindak pidana inses dan pengurangan ancaman pidana penjara semula 12 tahun menjadi 10 tahun. Sementara dalam penjelasan Pasal 416 pun terdapat penambahan frasa ‘perbuatan cabul’. Setidaknya untuk memperjelas yang dimaksud dengan ‘perbuatan cabul’.

Dalam Pasal 421 terdapat perubahan pengacuan pasal, akibat adanya penghapusan beberapa pasal dari RKUHP per 4 Juli.  Serta penambahan frasa ‘dapat’. Kemudian mereformulasi kejelasan rumusan Pasal 473 yang mengatur tindak pidana perkosaan, serta mengganti frasa ‘dilakukan perbuatan cabul berupa’ menjadi ‘dengan cara’.

Penambahan

Dalam penyusunan, tim perumus menambahkan kalimat ‘rusaknya fungsi reproduksi’ dalam definisi ‘Luka Berat’ pada Pasal 155. Penambahan tersebut mengakomodir rumusan dalam UU No.12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS), khususnya dalam Pasal 15 ayat (1) huruf n sebagai alasan pemberat pidana.  Selanjutnya Pasal 423 menjadi pasal baru sebagai bagian mengharmonisasi RKUHP dengan UU TPKS.

Yakni, perlu adanya penegasan tindak pidana apa saja yang tergolong dalam TPKS. Kemudian terdapat penambahan 2 ayat baru pada Pasal 473 terkait dengan pemberatan terhadap TPKS yang dilakukan secara bersama-sama untuk diharmonisasi dengan UU TPKS yang mengatur bila tindak pidana kekerasan seksual dilakukan bersama-sama, pidananya dapat ditambah. Terakhir, mereposisi pasal yang mengatur tindak pidana pencucian uang (TPPU). Semula, TPPU diatur dengan 3 pasal. Yakni Pasal 611, 612 dan 613, tapi setelah direposisi menjadi 2 pasal. Yakni Pasal 607 dan 610.

Tags: