Jimly Asshiddiqie: Kajian HTN Jangan Terlalu Originalist dan Domestik
Terbaru

Jimly Asshiddiqie: Kajian HTN Jangan Terlalu Originalist dan Domestik

Konstitusi sejatinya memiliki objek telaah/kajian yang sangat luas, sehingga perbandingan ide-ide hukum dengan negara lain menjadi sangat dibutuhkan untuk mengembangkan struktur kelembagaan konstitusional yang sesuai dengan perkembangan kebutuhan zaman.

Hamalatul Qurani
Bacaan 3 Menit
Guru Besar FH UI Prof Jimly Asshiddiqie dalam kuliah umum secara daring bertajuk 'Menguji Daya Lenting Konstitusi di Tengah Turbulensi' yang diselenggarakan oleh PSHK FH UII, Sabtu (21/8/2021). Foto: HMQ
Guru Besar FH UI Prof Jimly Asshiddiqie dalam kuliah umum secara daring bertajuk 'Menguji Daya Lenting Konstitusi di Tengah Turbulensi' yang diselenggarakan oleh PSHK FH UII, Sabtu (21/8/2021). Foto: HMQ

Tantangan perubahan zaman menuntut seluruh lini bidang hukum harus mampu beradaptasi dan berpikir secara visioner, tak terkecuali bidang Hukum Tata Negara (HTN). Instansi akademis, dosen, ahli dan para mahasiswa diharapkan dapat menjadi ujung tombak pengkajian atas konsep-konsep pembaharuan itu. Sebab, kecenderungan studi hukum tata negara di Indonesia berorientasi domestik (domestic oriented).   

“Yang banyak dikaji dan dibicarakan hanya soal urusan hukum dalam negeri saja. Padahal 90% constitutional rules dalam konstitusi kita itu hasil contekan dari beberapa negara,” ujar Guru Besar Hukum Tata Negara Fakutas Hukum Universitas Indonesia (FH UI) Prof Jimly Asshiddiqie mengawali diskusi daring yang diselenggarakan oleh PSHK FH UII, Sabtu (21/8/2021).

Ia menyayangkan berbagai kajian yang ditemuinya hanya membenturkan persoalan konstitusional domestik dengan keberlakuan pasal-pasal dalam UUD 1945. Padahal, semestinya kajian HTN bukan hanya perihal hukum positif yang berlaku di Indonesia saja (domestic constitutional rules), tapi juga kajian HTN secara umum yakni HTN sebagai sebuah ilmu yang berlaku secara universal.

“Jadi para ahli tata negara jangan bicara pasal saja, mahasiswa mulai sekarang juga harus memperluas cakrawala berpikir. Hukum positif yang berlaku itu hanya berlaku di Indonesia saja. Keharusan memperluas cara pandang sangat diperlukan karena eranya sudah globalisasi,” harap Jimly. (Baca Juga: 3 Aturan Ini Jadi Rujukan Utama dalam Hukum Tata Negara Darurat)

Bila diperhatikan, mulai dari Pasal 1 sampai pasal terakhir UUD Tahun 1945 ada kaitannya dengan ide-ide yang sudah berkembang di luar negeri ketika itu. Sebut saja, seperti istilah Presiden yang diadopsi dari Amerika Serikat (AS); pasca reformasi ada lembaga Komisi Yudisial (KY); pasal-pasal Hak Asasi Manusia (HAM) dalam UUD 1945 yang diadopsi dari instrumen internasional.

Lalu, Dewan Perwakilan Rakyat yang merupakan terjemahan dari Volksraad; Mahkamah Agung (Hoge Raad); Pengadilan Negeri (Landraad). Bahkan, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) sudah ada sebelum Indonesia merdeka dengan sebutan Algemene Rekenkamer. Barulah pasca Indonesia merdeka diterjemahkan sebagai BPK. Untuk itu, tak salah bila dikatakan bahwa produk UUD Tahun 1945 itu merupakan constitutional transplantation dari negara-negara lain.

Walaupun ada pembenaran kultural dari para ahli bahwa Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) bersumber dari ide lokal yakni musyawarah mufakat dari demokrasi desa, tetap saja idenya (konsepnya, red) disebut Jimly diambil dari negara lain. Contohnya, semua negara komunis mesti mempunyai lembaga tertinggi negara dengan berbagai sebutan yang berbeda-beda. Uni Soviet dengan People’s Assembly-nya dan National People’s Congress sebagai organ tertinggi kekuasaan negaradi RRC.

Tak hanya negara komunis, negara-negara yang menganut paham supremasi parlemen juga mempunyai lembaga tertinggi negara layaknya MPR di Indonesia, khususnya negara-negara yang menganut supremasi parlemen yang dicampur dengan kerajaan, seperti Inggris dan Belanda. Di Belanda Ratu/Raja sekaligus menjadi ketua Eerste Kamer (Dewan Negara). Sedangkan di Inggris Ratu/Raja sekaligus menjadi ketua House of Lords.

“Jadi jelas, bahwa struktur kelembagaan konstitusional kita, itu banyak diambil dari luar. Barulah budaya konstitusionalnya yang diambil secara turun-temurun,” tutur Jimly.

Untuk itu, perbandingan ide-ide yang sudah ada di negara lain itu menjadi penting dilakukan untuk mengembangkan struktur kelembagaan konstitusional yang sesuai dengan perkembangan kebutuhan zaman (di Indonesia. red). Perihal pengembangan pengaturan masyarakat hukum adat pun Indonesia bisa belajar dari konsep indigenous people yang dianut AS.

Bila merunut sejarah di abad ke-17, masyarakat adat AS yang membuat konstitusi sendiri dilarang dan bahkan diancam dengan sanksi hukum. Namun, di abad ke-19 konstitusi yang dibuat masyarakat adat diakui oleh negara, bahkan disahkan oleh pemerintah federal. Dampaknya, desa adat menjadi diakui dan diperlakukan sebagai sebuah badan hukum.

Dengan begitu, segala hal yang berhubungan dengan desa, seperti keinginan untuk melakukan penambangan di daerah itu harus melewati tahapan negosiasi dengan masyarakat desa setempat tersebut. “Itulah mengapa desa di AS kaya-kaya, berbeda sekali dengan Indonesia,” sindirnya.

Untuk itu, poin penting yang tak boleh terlupakan, konstitusi sejatinya memiliki objek telaah yang sangat luas, sehingga perbandingan hukum dengan negara lain menjadi sangat dibutuhkan. Jangan sampai ahli-ahli HTN Indonesia di masa depan disebut Jimly menjadi sangat originalist dan cenderung domestik.

Mahasiswa hukum tata negara sekalipun disebutnya juga harus berani membuka diri terhadap pemikiran global. Mengingat ada banyak sekali masalah tata negara yang tidak bisa diselesaikan hanya dengan memahami teks UUD Tahun 1945. “Perlu pemahaman yang luas untuk memahami ide-ide baru yang tengah berkembang di lingkup internasional.”

Tags:

Berita Terkait