Hakim PN Lubuk Sikaping: Perdamaian Bukan Fokus Utama Restorative Justice
Terbaru

Hakim PN Lubuk Sikaping: Perdamaian Bukan Fokus Utama Restorative Justice

Melainkan bagaimana akibat dari tindak pidana dapat ditangani dan dipulihkan secara adil, proporsionalitas upaya pemulihan. Penerapan restorative justice perlu dilakukan penyeragaman pemahaman yang komprehensif dari pejabat yang berwenang pada setiap tahapan peradilan.

Aida Mardatillah
Bacaan 4 Menit
Hakim PN Lubuk Sikaping Aulia Ali Reza saat acara bertajuk 'Selayang Pandang Restorative Justice dalam KUHP Baru dan Peraturan Terkait' secara daring, Sabtu (25/5/2024).
Hakim PN Lubuk Sikaping Aulia Ali Reza saat acara bertajuk 'Selayang Pandang Restorative Justice dalam KUHP Baru dan Peraturan Terkait' secara daring, Sabtu (25/5/2024).

Penerapan restorative justice (keadilan restoratif) dalam sistem peradilan pidana tidak semata-mata untuk menghentikan perkara. Mekanisme restorative justice dapat dilakukan dalam setiap proses peradilan pidana. Namun, dalam pengaturan di KUHP baru atau nasional, restorative justice (pemulihan keadilan) memiliki tantangannya sendiri, mulai dari potensi perbedaan pemahaman diantara aparat penegak hukum hingga kemampuan ekonomi pelaku.

“Ada perbedaan pemahaman terkait restorative justice (RJ) antar aparat penegak hukum dengan pedoman internal lembaga masing-masing,” ujar Hakim PN Lubuk Sikaping Aulia Ali Reza dalam acara bertajuk “Selayang Pandang Restorative Justice dalam KUHP Baru dan Peraturan Terkait” yang digelar Forum Kajian Dunia Peradilan secara daring, Sabtu (25/5/2024).

Baca Juga:

Untuk itu, ia berpandangan penerapan restorative justice perlu dilakukan penyeragaman pemahaman yang komprehensif dari pejabat yang berwenang pada setiap tahapan peradilan (Hakim, Penuntut Umum, Penyidik, dan Penasihat Hukum), khususnya dari kemampuan komunikasi, kemampuan mediasi, bertanya, serta pemahaman dari aspek psikologis, sosial, dan budaya.

“Adanya kekhawatiran dari korban terjadinya reviktimisasi atau retraumatisasi karena korban harus melalui proses musyawarah dengan pelaku dalam rangka penyelesaian masalah. Apalagi dalam kondisi pelaku dan korban memiliki kondisi relasi kuasa, ketimpangan kelas, adanya kekuasaan atau jabatan yang dimiliki pelaku yang dapat mengancam keamanan korban, dan lain-lain.” kata Aulia.

Ia menjelaskan restorative justice merupakan komplemen dari sistem peradilan pidana, bukan pengganti. Perlindungan terhadap korban yang belum maksimal di Indonesia dapat terlibat aktif dalam proses restorative justice. Minimnya aturan pedoman pelaksana yang mendukung penerapan pemulihan keadilan masih menyerahkan pada kerelaan pelaku untuk melaksanakan pemulihan.

Aulia mengatakan reduksi makna restorative justice sebagai hasil dalam bentuk perdamaian. Hal ini justru berpotensi menghilangkan esensi dari restorative justice itu sendiri berupa peran aktif dari korban, pelaku, dan pihak lain dalam upayanya menyelesaikan masalah secara seimbang serta adanya upaya pemulihan. Pada dasarnya restorative justice sendiri tetap dapat dilakukan bersamaan dengan dijatuhkannya pemidanaan. Sebab, esensi dari restorative justice bukanlah perdamaian, melainkan pemulihan (nilai-nilai keadilan, red) akibat dari tindak pidana.

Tags:

Berita Terkait