Jimly Kritik Aturan Penetapan Status Darurat Bencana
Berita

Jimly Kritik Aturan Penetapan Status Darurat Bencana

UU Penanggulangan Bencana terkesan menggunakan paradigma desentralisasi. Seharusnya ada di tangan Presiden sebagai kepala negara hukum.

Oleh:
Muhammad Yasin
Bacaan 2 Menit

Pasal 51 UU Penanggulangan Bencana menyebutkan penetapan status darurat bencana dilaksanakan oleh pemerintah sesuai dengan skala bencana. Jika skalanya nasional, status hukum bencana ditetapkan Presiden. Gubernur berwenang menetapkan status bencana untuk skala provinsi, dan bupati/walikota untuk bencana skala kabupaten/kota.

Aturan itulah yang dikritik keras Jimly. Menurut dia, penetapan status darurat bencana dan perubahannya adalah persoalan hukum yang serius sehingga seharusnya langsung ditangani oleh presiden selaku kepala negara hukum. “Ini (status darurat bencana- red)kok dikaitkan dengan desentralisasi,” ujarnya. “Ini soal serius. Harus oleh kepala negara. Hanya kepala negara yang berhak mengubah status hukum dari keadaan normal menjadi keadaan darurat,” sambungnya.

(Baca juga: Anda Menyumbang ke Daerah Bencana? Pahami Masalah Pajaknya).

Jimly menegaskan perubahan status suatu keadaan negara atau bagian negara dari kondisi normal menjadi abnormal, dan mencabut status abnormal menjadi normal kembali adalah persoalan hukum. Berdasarkan peraturan perundang-undangan, bidang hukum adalah salah satu dari enam urusan yang berada di tangan pusat. Ia mengklaim di luar negeri, misalnya di Amerika Serikat, kewenangan menetapkan status darurat ada di tangan presiden meskipun skala bencana hanya di satu wilayah negara bagian. “Status darurat itu masalah hukum. Itu kewenangan yang tak bisa didesentralisasi”, tegasnya.

Untung Tri Winarso, anggota Aliansi Masyarakat untuk Penguatan UU Penanggulangan Bencana, mengatakan ada sejumlah norma dalam UU Penanggulangan Bencana yang seharusnya diperbaiki. Ia berharap Pemerintah dan DPR segera membahas agar masukan-masukan dari masyarakat dapat ditampung.

Tags:

Berita Terkait