Kapolri Diminta Tuntaskan Kasus Pemerkosaan Anak di Luwu Timur
Utama

Kapolri Diminta Tuntaskan Kasus Pemerkosaan Anak di Luwu Timur

Polri menerjunkan Tim Sistensi Bareskrim untk mendampingi Polres Luwu Timur dalam mengambil langkah penyelesaian perkara pemerkosaan anak tersebut. Nasib RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual menjadi mendesak untuk segera disahkan menjadi UU.

Rofiq Hidayat
Bacaan 5 Menit
Ilustrasi
Ilustrasi

Dorongan sejumlah elemen masyarakat agar Polri membuka kembali penyelidikan dan penyidikan terhadap kasus dugaan pencabulan dan pemerkosaan 3 anak oleh ayah kandungnya berinisial SA (43) di Kabupaten Luwu Timur, Sulawesi Selatan yang dilaporkan ibunya, RS, pada 2019 lalu, terus menguat. Tujuannya, memulihkan kepercayaan publik terhadap lembaga kepolisian dan memberi keadilan kepada semua pihak, khususnya keluarga dan anak yang ditengarai menjadi korban rudapaksa (paksa, perkosa).  

“Saya berharap Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo memerintahkan jajarannya untuk membuka kembali kasus dugaan pemerkosaan anak di Luwu Timur ini jika ditemukan bukti baru,” ujar Ketua Komisi III DPR Herman Herry melalui keterangan tertulis, Minggu (10/10/2021). (Baca Juga: Kepolisian Didesak Buka Kembali Kasus Pemerkosaan Anak di Luwu Timur)

Dia mengatakan kasus yang bertatus dihentikan penyelidikan oleh Polres Luwu Timur pada 10  Desember 2019 lalu ini mesti dibuka lagi secara menyeluruh dan sesuai prosedur. kasus-kasus serupa harus menjadi perhatian penuh bagi institusi kepolisian dan semua pihak. Pasalnya, rudapaksa menjadi kejahatan yang amat serius. Dia minta aparat penegak hukum memastikan tak ada ruang bagi pelaku kejahatan rudapaksa.

Dia mengingatkan terdapat UU No.17 Tahun 2016 tentang Penetapan Perppu No.1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas UU No.23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak menjadi UU. Dalam UU tersebut antara lain mengatur sanksi pidana berupa kebiri kimia dan pemasangan alat pendeteksi elektronik terhadap pelaku kekerasan seksual terhadap anak.

Politisi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan itu mendesak Polri agar menyelesaikan atau menuntaskan kasus dugaan rudapaksa terhadap anak di Luwu Timur secara professional dengan menggunakan kaidah dan sesuai aturan prosedur yang berlaku. Dia berharap aparat penegak hukum memastikan pelakunya mendapat ganjaran hukuman setimpal. Namun identitas korban anak harus dilindungi dan mengutamakan kepentingan terbaik bagi korban dan keluarga.

Senada, anggota Komisi IX Netty Prasetiyani Aher menilai pesimisnya publik terhadap tindak lanjut langkah kepolisian yang menghentikan penyidikan kasus dugaan rudapaksa terhadap tiga orang anaknya yang dilakukan SA yang berstatus Aparatur Sipil Negara (ASN). Karenanya, Netty mendorong agar kepolisian membuka kembali penyelidikan dan penyidikan terhadap kasus dugaan rudapaksa secara transparan.

“Apalagi korbannya anak-anak dan terduga pelaku adalah orang yang seharusnya memberikan perlindungan dan rasa aman pada keluarga,” ujarnya.

Dia berharap bila kasus tersebut dibuka kembali, masyarakat harus mengawal jalannya penyelidikan dan penyidikan agar kasus ini terang benderang. Begitupula aparat penyidik harus bekerja profesional dan mengendepankan hak-hak korban yang masih anak-anak. Politisi Partai Keadilan Sejahtera itu melihat ada trending tagar di medsos #PercumaLaporPolisi terus menguat. Menurutnya trending tagar tersebut menjadi bukti betapa terciderainya kepercayaan publik terhadap lembaga kepolisian.

Menurutnya, penanganan kasus tersebut memang menyisakan sejumlah pertanyaan bila melihat pemberitaan di banyak media. Seperti prosesnya kurang melibatkan penuh kuasa hukum, orang tua, dan pendamping sosial korban, konseling hingga dukungan fasilitas lain yang kurang memadai. Nah, agar kasus tersebut tak lagi simpang siur, aparat penegak hukum harus tegas dan berpihak terhadap korban yang memiliki hubungan personal dengan orang yang diduga pelakunya.

“Beri dukungan pada ibu korban yang berani melaporkan kasus ini, jangan malah diviktimisasi sebagai ibu yang memiliki gangguan kejiwaan,” katanya.

Sesuai prosedur

Terpisah, Kepala Biro Penerangan Masyarakat (Karopenmas) Mabes Polri, Brigadir Jenderal (Brigjen) Pol  Rusdi Hartono menegaskan, langkah menghentikan pennyelidikan dan penyidikan  kasus tersebut telah sesuai prosedur. Penyidik bekerja secara independen berdasarkan alat bukti yang ada.

Dia menegaskan ketika menangani sebuah perkara, Polri tak melihat latar belakang orang-orang yang diduga terlibat dan ditangani aparat kepolisian. Makanya Rusdi memastikan jajaran penyidik independen. “Siapapun dia (yang diduga pelaku, red), penyidik independen di situ,” ujarnya sebagaimana dikutip dari laman Antara.

Jenderal polisi bintang satu itu mengatakan penghentian penyelidikan kasus tersebut lantaran alat bukti yang dikantongi penyidik dan dilakukan gelar perkara, ternyata disimpulkan belum cukupnya bukti perihal adanya dugaan tindak pidana. Karena itulah, penyelidikan kala itu dihentikan berdasarkan data objektif. “Seperti itu rangkaiannya. Tidak melihat siapa-siapa latar belakang dari terlapor, karena penyidik independen menjalankan tugasnya,” katanya.

Belakangan, Polri merespon desakan banyak kalangan dengan menerjunkan Tim Sistensi Bareskrim untk mendampingi Polres Luwu Timur dalam mengambil langkah penyelesaian perkara tersebut. Rusdi menegaskan Polri siap membuka kasus tersebut sepanjang ditemukan alat bukti baru. Alat bukti tersebut bisa diserahkan oleh pihak terlapor, maupun yang ditemukan penyidik.

“Saya katakan seluruhnya melakukan pencarian bukti baru itu, Polri juga melakukan, pihak-pihak di luar Polri juga melakukan, itu kita hargai semua,” katanya.

Segera disahkan

Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) Lestari Moerdijat menilai sejatinya penanganan kasus dugaan kekerasan seksual terhadap anak haruslah transparan.  Terpenting, mengedepankan perlindungan terhadap korban. Apalagi korban masih anak-anak. Baginya, kasus kekerasan seksual terhadap anak menjadi bagian lemahnya regulasi.

Untuk itu, perlunya Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) yang berstatus pembahasan di DPR dapat segera dikebut dan disahkan menjadi UU. Dalam RUU tersebut memuat berbagai tindak kekerasan seksual terhadap anak yang harus dihentikan. Selain itu, mempertegas hak-hak korban. “Mengingat dampaknya yang bisa meluas.”

Politisi Partai Nasional Demokrat (Nasdem) itu mengakui kasus kekerasan seksual terhadap anak amat pelik. Sebab biasanya, kasus-kasus tersebut melibatkan orang-orang terdekat di sekeliling korban. Karenanya, semua pihak yang terlibat dalam penanganan kasus kekerasan seksual terhadap anak dapat mengepankan fakta-fakta secara transparan agar dihasilkan pengambilan keputusan yang adil dan tepat.

Selain itu, proses pembahasan RUU TPKS yang di dalamnya mengatur hak-hak korban kekerasan seksual, diharapkan segera tuntas. Dia berpendapat kehadiran UU TPKS nantinya menjadi instrumen penting agar negara berperan aktif dalam melindungi hak-hak para korban kekerasan seksual, sehingga ada kepastian hukum.

Dia merujuk data Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (Simfoni PPA), per Jumat (23/7) terdapat 5.463 kasus kekerasan terhadap anak. Menurutnya, dari total kasus kekerasan pada perempuan dan anak, sebanyak 5.198 kasus terjadi di lingkup rumah tangga. Menurutnya, tingginya jumlah kasus dan kendala dalam penanganan kasus-kasus kekerasan seksual, semestinya mendorong para legislator di parlemen agar segera menyepakati RUU-TPKS yang tengah dibahas.

“Saya berharap para pemangku kepentingan di pusat dan daerah meningkatkan komitmennya dalam pencegahan dan penanganan kasus-kasus kekerasan seksual terhadap anak di tanah air,” harapnya.

Seperti diketahui, kasus dugaan pemerkosaan yang dialami tiga orang anak berusia di bawah 10 tahun di Luwu Timur pada 2019. Kasus tersebut belakangan terakhir viral di media sosial. Berdasarkan laporan ibu kandung ketiga anak, pelaku diduga tak lain ayah kandung mereka sendiri, SA. Adapun Polres Luwu Timur sebelumnya telah menutup kasus ini karena menganggap lemahnya barang bukti yang ada.

Tags:

Berita Terkait