Karut-Marut Penyusunan RUU Cipta Kerja
Omnibus Law:

Karut-Marut Penyusunan RUU Cipta Kerja

Persoalan cara penyusunan Omnibus Law RUU Cipta Kerja ini seharusnya menjadi perhatian dalam pembahasan di DPR. Atau menarik kembali draft RUU Cipta Kerja untuk diperbaiki terutama dari sisi prosedur penyusunan.

Oleh:
Rofiq Hidayat/Agus Sahbani
Bacaan 2 Menit

 

Asas kedua yang berpotensi dilanggar adalah asas “dapat dilaksanakan”. Hal ini terlihat dalam pengaturan Pasal 173 RUU Cipta Kerja yang menyebut peraturan pelaksana dari UU yang sudah diubah oleh RUU Cipta Kerja harus disesuaikan dengan UU ini dalam jangka waktu 1 bulan. Mengubah peraturan pelaksana dari 79 UU dalam kurun waktu 1 bulan mandat yang sama sekali tidak realistis.

 

Kedua, banyaknya jumlah peraturan pelaksana yang diamanatkan pembentukannya oleh RUU Cipta Kerja yang terdiri dari 493 Peraturan Pemerintah, 19 Peraturan Presiden, dan 4 Peraturan Daerah ini menunjukkan tidak sensitifnya pembuat undang-undang atas kondisi regulasi di Indonesia. Hal ini seolah mengabaikan fakta bahwa saat ini Indonesia mengalami hiper regulasi.

 

Alih-alih menggunakan pendekatan omnibus law sebagai momentum pembenahan regulasi secara menyeluruh, pemerintah sebagai pengusul justru semakin menambah beban penyusunan regulasi. Hal itu jelas kontraproduktif dengan agenda reformasi regulasi yang sedang digaungkan presiden, khususnya dalam menyederhanakan jumlah peraturan perundang-undangan di level pemerintah pusat. Hasil penelitian PSHK menunjukkan kurun waktu Oktober 2014 s.d. Oktober 2018 ada total 8.945 regulasi yang dibentuk di tingkat nasional meliputi UU, PP, Perpres, dan Permen.  

 

Bertentangan hierarki dan putusan MK

Ketiga, substansi pengaturan RUU Cipta Kerja bertentangan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) dan melanggar UU 12/2011. Terdapat dua pasal yang bertentangan dengan ketentuan hierarki peraturan perundang-undangan dan putusan MK. Seperti, Pasal 170 RUU Cipta Kerja mengatur PP dapat digunakan untuk mengubah UU. Hal itu bertentangan dengan Pasal 7 ayat (1) dan (2) UU No. 12/2011 yang menyebut PP memiliki kedudukan lebih rendah dibanding UU, sehingga PP tidak bisa membatalkan/mengubah UU. 

 

Selain itu, Pasal 166 RUU Cipta Kerja menyebut Perpres bisa membatalkan Perda. Hal itu bertentangan dengan Putusan MK No. 137/PUU-XIII/2015 terkait pengujian beberapa pasal UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Salah satunya, Pasal 251 ayat (2), (3), (4), (8) UU Pemda terkait mekanisme pembatalan perda kabupaten/kota oleh gubernur dan mendagri yang dinyatakan inkonstitusional/bertentangan dengan 24A ayat (1) UUD 1945. Menurut Mahkamah pengujian/pembatalan Perda menjadi kewenangan konstitusional MA.

 

Mahkamah beralasan Pasal 251 ayat (2) dan ayat (3) UU Pemda yang memberi wewenang menteri dan gubernur membatalkan Perda Kabupaten/Kota selain bertentangan peraturan yang lebih tinggi (UU), juga menyimpangi logika bangunan hukum yang telah menempatkan MA sebagai lembaga yang berwenang menguji peraturan perundang-undangan di bawah UU, dalam hal ini Perda Kabupaten/Kota.  Baca Juga: Pencabutan Perda Lewat Perpres, Simak Putusan MK Ini!

 

Hukumonline.com

 

Langgar konstitusi

Dosen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Trisakti Muhammad Imam Nasef menilai Pasal 166 RUU Cipta Kerja bentuk pembangkangan terhadap konstitusi karena memuat kembali pasal yang sebelumnya sudah pernah dibatalkan MK. Menurutnya, Pasal 166 RUU Cipta Kerja mengkonfirmasi penelitian 3 dosen Fakultas Hukum Universitas Trisakti pada 2019 yang menemukan dari 109 putusan MK yang diteliti terdapat 25 putusan MK (22,01) persen tidak dipatuhi pemangku kepentingan.  

Tags:

Berita Terkait