RUU Cipta Kerja Dinilai Belum Lindungi Masyarakat Hukum Adat
Berita

RUU Cipta Kerja Dinilai Belum Lindungi Masyarakat Hukum Adat

RUU Cipta Kerja justru memperumit pengakuan dan perlindungan berbagai hak atas tanah terkait masyarakat hukum adat karena berbagai frasa/kata atau istilah yang berbeda-beda.

Oleh:
Rofiq Hidayat
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi kawasan hutan. Foto: MYS
Ilustrasi kawasan hutan. Foto: MYS

Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Kerja terus menjadi perhatian berbagai elemen masyarakat. Pasalnya, RUU Cipta Kerja yang disusun menggunakan metode omnibus law ini menyasar banyak sektor yang berdampak bagi masyarakat banyak. Salah satunya, menyasar masyarakat hukum adat yang mulai gusar lantaran RUU Cipta Kerja dianggap belum menjamin dan melindungi hak-haknya. Bahkan, malah menambah persoalan baru bagi masyarakat hukum adat.

 

“RUU ini tidak memanfaatkan momentum, saya berharap RUU Cipta Kerja mampu mengurangi ego sektoral. RUU ini memperjuangkan haknya (masyarakat hukum adat, red) malah semakin rumit,” ujar Dosen Hukum Adat Fakultas Hukum Universitas Andalas, Kurnia Warman dalam sebuah diskusi di Jakarta, Selasa (10/3/2020).

 

Dia menilai masyarakat hukum adat seolah menjadi “tertuduh” sebagai penghambat investasi dan cipta kerja (stigma). Dia berharap “tuduhan” tersebut dapat dihapus dalam RUU Cipta Kerja. Selain itu, RUU Cipta Kerja tidak memiliki niat mengatur perlindungan masyarakat hukum adat.

 

“Bisa dilihat dari isinya tidak membereskan disharmoni pengaturan masyarakat hukum adat. Jadi tidak ada yang bisa diharapkan,” kata Kurnia. Baca Juga: Diusulkan Klaster Ketenagakerjaan Dicabut dari RUU Cipta Kerja

 

Menurutnya, ada ketidakjelasan pengakuan masyarakat hukum adat dan wilayah adat yang dilanggengkan dalam RUU Cipta Kerja. Akibatnya, masyarakat hukum adat rentan menjadi korban perampasan tanah hanya demi kepentingan investasi. Selain itu, RUU Cipta Kerja tak dapat diharapkan dalam penyelesaian konflik penguasaan tanah/lahan dan pengelolaan sumber daya alam (SDA) yang sering merugikan masyarakat hukum adat.

 

Dalam kesempatan yang sama, Dosen Hukum Adat Fakultas Hukum Universitass Gadjah Mada (UGM) Ricardo Simarmata menilai terdapat pasal yang membatasi secara rigid definisi masyarakat hukum adat. Seperti, Pasal 18 angka 2 RUU Cipta Kerja yang mensyaratkan  masyarakat hgukum adat harus memiliki kelembagaan.

 

RUU Cipta Kerja pun mempertahankan syarat pengakuan masyarakat hukum adat sesuai peraturan perundang-undangan. Padahal, peraturan perundang-undangan mengatur syarat yang rigid untuk pengakuan masyarakat adat. Misalnya, sepanjang masih hidup dan sesuai dengan kepentingan nasional.

Tags:

Berita Terkait